Banyak pecinta Olimpiade mengetahui bahwa atlet favorit mereka mengasihi Yesus melalui postingan media sosial atau wawancara setelah pertandingan menyusul kesuksesan mereka di lapangan, arena, lintasan lari, atau di kolam renang. Namun mayoritas orang Kristen yang berkompetisi dalam Olimpiade tersebut tidak akan naik podium.

Bagi banyak orang, hanya dengan hadir di pesta olahraga ini sudah menjadi bukti bahwa mereka telah berhasil mengatasi cedera, tantangan kesehatan mental, atau kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai. Berikut ini adalah kisah para atlet Kristen dari 13 cabang olahraga dan 20 negara, yang semuanya bersemangat untuk membuat negara mereka—dan Tuhan—bangga.

Laporan oleh Annie Meldrum, Isabel Ong, Angela Lu Fulton, Franco Iacomini, Mariana Albuquerque, dan Morgan Lee.

Bulu tangkis

Anthony Sinisuka Ginting (Indonesia)

Dikenal sebagai “Pembunuh Raksasa” dalam bulu tangkis karena telah berhasil mengalahkan bintang-bintang terbaik dalam olahraga ini, Anthony Sinisuka Ginting membawa pulang medali perunggu untuk nomor tunggal putra bulu tangkis di Tokyo. Tahun ini, dia kembali ke Olimpiade bersama sesama pemain bulu tangkis Indonesia, yang juga beragama Kristen, Jonathan Christie.

Ginting lahir di Cimahi, Jawa Barat, dan berasal dari suku Karo, salah satu suku dari Sumatera Utara yang 70 persen penduduknya beragama Kristen. Ayahnya memperkenalkan dia pada bulu tangkis saat dia berusia lima tahun, dan dia mulai bertanding pada usia sembilan tahun. Sejak itu, dia telah meraih medali atau menang di berbagai kompetisi.

Di akun Instagramnya, Ginting tak malu-malu menyatakan imannya. Dalam postingan Instagram bulan Maret, setelah memenangkan juara dua All England Open, dikalahkan oleh Jonathan Christie, dia menulis, “Terima kasih Yesus atas kebaikan-Mu. Itu semua di luar ekspektasi saya.” Menanggapi postingan tersebut, Christie berkomentar, “Kami membuat sejarah bersama yang tidak pernah kami bayangkan, Tuhan selalu baik.”

Bola basket

Kayla Alexander, Kanada

Pemain bola basket tim Kanada, Kayla Alexander, 33 tahun, sering menulis di Instagram dan blognya tentang bagaimana Tuhan telah mengarahkan kariernya. “Setiap impian yang saya miliki sebagai seorang anak, Tuhan telah melampauinya dengan cara yang saya pikir tidak mungkin terjadi,” tulisnya pada tahun 2018.

Bintang pemain tengah ini pernah bermain di WNBA dan saat ini bergabung dengan tim profesional Spanyol, Valencia Basket—sebuah klub, yang dia tidak pernah ia bayangkan sebelumnya sebagai seorang anak berusia 12 tahun yang bermain “sangat buruk” saat uji coba pertandingan bola basket pertamanya. Pada tahun 2020, ia mengalami cedera lutut yang mengakibatkan ia tidak dapat bermain dan hal itu membuat dia “patah hati.” Namun imannya kepada Tuhan membuat dia tetap termotivasi: “Sayangnya, banyak hal yang terjadi yang tidak masuk akal. Kami tidak mengerti alasan atau logika di balik semua itu, tetapi saya percaya bahwa [Tuhan] bekerja untuk mendatangkan kebaikan dan kemuliaan-Nya.”

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Ketika Jepang mengalahkan Kanada di turnamen kualifikasi Olimpiade, Alexander mengira harapan mereka untuk tampil di Olimpiade telah pupus. Namun tim ini berhasil bangkit dan meraih juara tiga, mengamankan tempat untuk kualifikasi. “Tuhan mengatakan bahwa kami belum selesai! Ketika mereka mengatakan Dia bekerja dengan cara yang misterius, biarlah ini menjadi contohnya!” ujarnya.

Carlik Jones, Sudan Selatan

Sejak menjadi negara merdeka 12 tahun lalu, Sudan Selatan telah bergumul dengan konflik dan bencana kemanusiaan. Namun musim panas ini, negara tersebut mengirimkan tim bola basket pertamanya ke Olimpiade, yang dipimpin oleh Carlik Jones, 26 tahun, keturunan Sudan Selatan dari pihak ibunya.

Jones pernah bermain untuk Chicago Bulls dan saat ini bersama Zhejiang Golden Bulls. Ia terlahir dengan kondisi otak yang membuatnya tidak diperbolehkan bermain olahraga yang kompetitif selama beberapa tahun, karena jika ia mengalami gegar otak, hal itu dapat membuatnya cedera parah. Akhirnya, di kelas dua, para dokter menyatakan dia sehat dan karir basketnya dimulai dari sana.

Jones sering menyebut nama Tuhan di media sosialnya. “Saya menaruh kepercayaan dan iman saya kepada TUHAN, dan membiarkan Dia memimpin jalan saya,” dia pada Oktober 2022. Bulan berikutnya, ia menulis, “SAYA SANGAT DIBERKATI, TERIMA KASIH TUHAN,” dan bulan berikutnya, “TUHAN ENGKAU LUAR BIASA.”

Meski timnya kurang memiliki pengalaman internasional, Jones tetap percaya pada mereka. “Sudan Selatan terabaikan, rakyatnya terabaikan, dan kami sebagai satu kesatuan pun terabaikan,” katanya tahun lalu. “Kami hanya mencoba untuk memasukkan Sudan Selatan di dalam peta.”

Article continues below

Tinju

Saidel Horta, Kuba

Saidel Horta memperoleh medali perak di Kejuaraan Tinju Dunia 2023 dan meraih kualifikasi Olimpiade di divisi kelas bulu pada tahun yang sama selama Pan American Games. Namun pada tahun 2021, Horta sempat mempertimbangkan untuk pensiun. Setelah gagal naik podium di kategori pemuda, ia bertanya-tanya apakah dirinya cukup bagus untuk berkompetisi di tingkat elit. Pada akhirnya, kecintaannya pada tinju memotivasi dia untuk terus berlatih, sehingga menghasilkan performa yang kuat pada tahun 2023 yang berujung meraih tempat di Olimpiade.

Di usianya yang baru 21 tahun, Horta kini dikenal sebagai salah satu pendukung tradisi tinju Kuba yang terhormat. Dalam salah satu foto di media sosial, sang atlet berdiri di dalam ring tinju dengan tangan terangkat ke arah langit. Keterangan di foto itu mengutip Mazmur 121: “Pertolonganku iadalah dari TUHAN.” Dalam postingan lain, ia menulis, “Tuhan, segala hormat dan kemuliaan bagi-Mu.”

Senam

Aleah Finnegan, Filipina

Aleah Finnegan, 21 tahun, adalah pesenam wanita Filipina pertama yang lolos ke Olimpiade sejak 1964. (Beberapa bulan kemudian, Emma Malabuyo, pesenam Filipina-Amerika lainnya, juga lolos kualifikasi).

“Terima kasih atas kesempatan untuk mewakili negara yang indah ini. … Tuhan Dimuliakan!” tulisnya dalam unggahan Instagram di bawah foto dirinya sedang memegang bendera Filipina.

Finnegan adalah orang Filipina dari garis ibunya dan mewakili AS dari tahun 2019 hingga 2021. Pada tahun 2021, ia pensiun dari senam elit untuk berkompetisi di tingkat perguruan tinggi di Louisiana State University. Setahun kemudian, ia berpindah kewarganegaraan ke Filipina.

Pada Kejuaraan Nasional NCAA 2024, skor Finnegan yang tinggi membantu tim senam LSU memenangkan gelar juara untuk pertama kalinya dalam sejarah LSU.

“TUHAN MELAKUKANNYA!! KAMI ADALAH JUARA NASIONAL!!” tulisnya, merayakan kemenangan mereka. “Terima kasih, Yesus, karena mengizinkan kami berkompetisi untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari diri kami sendiri.”

Brody Malone, AS

Setelah Brody Malone menjalani operasi ketiga pada kaki kanannya setahun yang lalu, peluangnya untuk mengikuti Olimpiade 2024 tidak terlihat bagus. Lututnya terkilir setelah melakukan pendaratan yang buruk, menyebabkan tulang keringnya retak dan beberapa ligamen robek.

Article continues below

Kini, lebih dari setahun kemudian, ia telah memenangkan kompetisi senam AS di nomor all-around dan bersiap untuk Olimpiade keduanya. Setelah menempati posisi keempat dalam kompetisi palang bertingkat di Tokyo, dia mengincar medali di Paris.

Malone menjalani proses pemulihan yang brutal—dia pada dasarnya harus “belajar kembali cara berjalan.” Kehidupan pribadinya juga bukannya tanpa cobaan. Ibunya meninggal karena kanker pada tahun 2012, dan pada tahun 2019, ibu tirinya meninggal karena aneurisma otak.

Namun dia tetap memuji Tuhan.

“Saya hanya ingin mempersembahkan segala kemuliaan kepada Tuhan,” katanya awal tahun ini. “Itu semua adalah milik-Nya. … Jadi saya hanya ingin berterima kasih kepada-Nya untuk semua ini.”

Judo

Geronay Whitebooi, Afrika Selatan

Judoka Geronay Whitebooi telah melihat terlalu banyak hal dalam hidup sehingga ia tidak mampu berbasa-basi. Saat ia baru-baru ini menempati posisi kedua di Marrakech Africa Open 2024, ia mengunggah foto dirinya setelah turnamen dengan ekspresi serius di wajahnya. “Hati saya menginginkan medali emas, tetapi itu bukan rencana Tuhan bagi saya hari ini. TUHAN adalah kekuatanku,” tulisnya dalam postingan panjang di Instagram. “TUHAN besertaku dan ada di dalamku.”

Whitebooi, yang juga lolos pada Olimpiade 2021, telah memenangkan banyak gelar di turnamen Afrika dan Eropa. Namun untuk mencapai titik ini dalam karir judo-nya, ia mengatakan bahwa ia harus melepaskan kehidupan sosialnya dan menghabiskan waktu berjauhan dari keluarganya, terutama saat dia menghadapi kehilangan tragis dari dua anggota keluarganya: ayahnya saat ia berusia 13 tahun, dan saudara perempuannya dua tahun lalu.

“Medali ini dengan bangga mewakili upaya lain yang telah saya lakukan untuk menerobos, tetapi ini adalah medali yang saya lihat dengan kesedihan, karena di satu sisi, saya telah membuat [saudara perempuan saya] bangga, namun saya tidak ada di sana untuk keluarga dan diri saya sendiri pada saat itu,” katanya tentang kemenangan dia di Piala Eropa Senior 2022.

“Penderitaan kita ada tujuannya,” tulisnya baru-baru ini. “Kita juga bisa bersukacita saat kita mengalami masalah dan cobaan, karena kita tahu bahwa semua itu menolong kita mengembangkan ketekunan.”

Rugby

Jerry Tuwai, Fiji

Pemain rugbi Fiji, Jerry Tuwai, 35 tahun, memimpin timnya meraih medali emas di Rio tahun 2016—yang merupakan kemenangan Olimpiade pertama bagi negaranya—dan di Tokyo. Pada kedua kesempatan tersebut, Tuwai dan rekan-rekan satu timnya saling berpelukan membentuk lingkaran dan menyanyikan himne tradisional “We Shall Overcome,” atau, yang dikenal di Fiji, “E Da Sa Qaqa.” Arti liriknya dalam bahasa Indonesia seperti ini: “Kita telah menang / Oleh darah Anak Domba / Dan oleh Firman Tuhan.”

Article continues below

“Kami selalu memulai… dan kami selalu mengakhiri dengan doa dan nyanyian kami. Lagu itu mengatakan bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang pengasih,” kata Tuwai.

Tuwai dibesarkan di salah satu distrik termiskin di luar ibu kota Fiji, Suva, dan tinggal di sebuah rumah dengan satu kamar yang terbuat dari dinding besi bergelombang. Dia menggunakan botol plastik atau bungkusan pakaian sebagai bola rugbi. Ketika ditanya apa yang membuatnya sukses dalam olahraga ini, Tuwai menjawab disiplin dan kebergantungannya kepada Tuhan.

Pada bulan Januari, Tuwai dikeluarkan dari skuad Fiji Sevens karena kurang fit. Enam bulan kemudian, dia diumumkan sebagai kapten tim Paris—tepat ketika Tuwai mengira karier rugbinya telah berakhir. “Anda punya rencana, tetapi Tuhan punya rencana berbeda untuk kita… mungkin rencana ini dan mungkin hal besar berikutnya,” katanya. “Saya tidak tahu. Hanya Tuhan yang tahu.”

Papan Luncur

Rayssa Leal, Brasil

Pada usia 7 tahun, Rayssa Leal mendapatkan momen ketenaran pertamanya ketika sebuah video yang memperlihatkan siswa sekolah dasar berpakaian seperti peri melakukan salto yang sempurna. Video ini dibagikan oleh Tony Hawk, salah satu nama terkenal di dunia papan luncur.

Pada usia 11 tahun, Leal mulai berkompetisi di tingkat internasional, dan pada usia 13 tahun, dia menjadi peraih medali Olimpiade termuda dari Brasil, dengan meraih medali perak dalam kategori papan luncur jalanan di Jepang pada tahun 2021. “Terima kasih, Tuhan, karena telah memberiku kesempatan untuk melakukan apa yang aku sukai!” tulisnya pada malam sebelum kompetisi.

Desember lalu, Rayssa meraih skor tertinggi dalam kariernya di final SLS Super Crown di São Paulo. “Segala hormat dan kemuliaan bagi Tuhan,” tulisnya. Kini, pada usia 16 tahun, gadis yang menjadi jemaat gereja Baptis di Imperatriz, sebuah kota di negara bagian Maranhão di timur laut ini, mengincar medali emas.

Article continues below

Sepak bola

Rasheedat Ajibade, Nigeria

Pada pertandingan final turnamen kualifikasi Olimpiade, Rasheedat Ajibade mencetak gol kemenangan—dan satu-satunya—yang membawa tim sepak bola wanita Nigeria melaju ke Paris, Olimpiade pertama mereka sejak 2008.

Ajibade merayakan kemenangannya dengan mengenakan kaus bertuliskan, “Yesus Dinyatakan, Yesus Dimuliakan, Haleluya,” dan dalam keterangan foto setelah pertandingan, dia menulis, “HANYA BAGI-MU TUHAN SEGALA KEMULIAAN. MANDAT ITU TETAP SANGAT JELAS.”

Terlepas dari profesinya yang berani ini, Ajibade mengatakan bahwa ia melihat dirinya sebagai orang yang pendiam dan ia sering mewarnai rambutnya dengan warna biru untuk mengekspresikan kepribadiannya. Bagi Ajibade, rambutnya melambangkan perjuangannya melawan depresi saat remaja dan simbol penyemangat dia agar setiap orang dapat bertahan dalam pergumulan akan kesehatan mental mereka.

Ajibade memulai karier sepak bola profesionalnya pada usia 13 tahun. Pada tahun 2022, dia menjadi pencetak gol terbanyak di Piala Sepak Bola Afrika Wanita. Dia juga bermain untuk Atletico Madrid, yang memenangkan Piala Sepak Bola Wanita pada tahun 2023.

Meski sukses, Ajibade tetap memiliki kepedulian terhadap mereka yang kurang beruntung di negaranya. Tahun lalu, ia mengunjungi daerah kumuh di Lagos, kemudian menulis, “Misi kami ada dua: untuk menyebarkan kebaikan dan membagikan terang Injil (Mrk. 16:15).”

Taishi Brandon Nozawa, Jepang

Di negara yang hanya satu persen penduduknya beragama Kristen, kiper Jepang berusia 21 tahun, Taishi Brandon Nozawa, berkomitmen menggunakan platform media sosialnya untuk membagikan imannya. Akun Instagram-nya memuat foto-foto dirinya di lapangan sepak bola yang diselingi dengan ayat-ayat Alkitab, hasil saat teduhnya, dan lagu penyembahan.

Di bawah gambar kutipan Charles Spurgeon “Jadilah Alkitab Berjalan,” Nozawa menulis, “Bagi orang Kristen, Alkitab adalah pelita dan terang yang menerangi jalan yang kita lalui. Namun, bagi mereka yang tidak membacanya, Alkitab bukanlah terang. Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus menjadi Alkitab yang dapat dibaca oleh sesama kita dan menjadi terang bagi mereka!”

Nozawa, berasal dari Provinsi Okinawa, telah bermain untuk tim nasional Jepang sejak berusia 14 tahun. Pada tahun 2023, dia bermain untuk klub sepak bola Tokyo.

Article continues below

“Saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus atas setiap berkat yang Tuhan persiapkan dan arahkan bagi kami di musim ini,” tulisnya dalam postingan Instagram di akhir tahun lalu. “Bahkan ketika masa-masa sulit, saat segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik, dan kita melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan Tuhan, kasih-Nya yang tidak berubah, sungguh menakjubkan. Itulah sebabnya saya kembali dan menyembah Tuhan.”

Renang

Adam Peaty, Inggris

Adam Peaty memenangkan pertandingan renang gaya dada 100 meter putra di Olimpiade Rio dan Tokyo serta medali emas kejuaraan dunia. Namun perenang asal Inggris ini pernah mengalami pergulatan pribadi yang signifikan, termasuk depresi dan kecanduan alkohol.

Dia menjadi orang Kristen pada tahun 2022 setelah cedera kaki memaksanya keluar dari kolam renang. Ia mulai datang ke gereja secara rutin setelah bertemu dengan pendeta Ashley Null, dan rutinitas baru ini “terasa seperti bagian yang hilang dari teka-teki kehidupan,” katanya. Dia sekarang memiliki tato salib besar di perutnya, disertai tulisan Into the Light.

Caeleb Dressel, AS

Caeleb Dressel mengatakan bahwa tato elang di bahunya mengingatkannya pada Yesaya 40: “tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (ay. 31).

Dipuji sebagai penerus Michael Phelps, Dressel sedang dalam perjalanan untuk mengharumkan namanya. Di Tokyo, ia membawa pulang lima medali emas.

Namun, perjalanannya tidak selalu mulus. Menjelang Olimpiade terakhir, Dressel mendapati dirinya berjuang melawan depresi dan serangan panik. Tekanan untuk menjadi salah satu nama paling terkenal di dunia olahraga sangat membebani dirinya.

Namun imannya membantu dia untuk bangkit dari keadaan tersebut. “Saya benar-benar belajar untuk melihat cahaya di ujung terowongan dan memercayai apa yang sedang Tuhan lakukan, baik itu titik terberat atau puncak tertinggi dalam hidup Anda,” katanya.

Georgia-Leigh Vele, Papua Nugini

Saat menerima medali perunggu untuk renang gaya dada 50 meter putri di Pacific Games 2023, Georgia-Leigh Vele, 25, berkata, “Saya sangat mengharapkan ini. Anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, tetapi saya mencoba yang terbaik dan Tuhanlah yang menentukan.”

Article continues below

Bagi Vele, menjadi seorang atlet membuatnya merasa bersyukur dan puas. “Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dengan ucapan syukur dan pujian,” tulisnya tahun lalu. “Sungguh hal yang luar biasa ketika Anda menemukan tempat itu, di mana Anda tahu Anda bisa dan akan melakukannya karena Dia.”

Perenang yang baru pertama kali ikut Olimpiade ini akan berlomba renang gaya bebas 50 meter di Paris, meneruskan legasi keluarganya dalam olahraga renang kompetitif.

Taekwondo

Lolohea Naitasi, Fiji

Taekwondo bukanlah cinta pertama Lolohea Naitasi. Atlet berusia 17 tahun ini awalnya bermain olahraga bola jaring, tetapi ia juga mempelajari seni bela diri asal Korea ini di kelas pendidikan jasmani di sekolahnya tiga tahun lalu dan terus menekuninya setelah mendapatkan beasiswa.

Dia memenangkan medali perak di Pacific Games pertamanya tahun lalu, dan medali peraknya di turnamen kualifikasi tahun ini memberinya tempat di Paris.

“Persiapan untuk [Olimpiade] tidaklah mudah, tetapi ketika Anda mengutamakan Tuhan, segalanya sesuatunya menjadi mungkin,” ujarnya.

Atletik

Julien Alfred, Saint Lucia

“Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm. 8:18). Julien Alfred, seorang bintang atletik yang sedang naik daun dari Saint Lucia, yang dua kali dinobatkan sebagai atlet lari terbaik di negaranya, menampilkan ayat ini di profil Instagram-nya.

Alfred meraih medali perak pada cabang lari 100 meter putri di Commonwealth Games 2022. Pada tahun 2024, dia menempati posisi pertama di final lari 60 meter di World Athletics Indoor Championships.

Sambil ia bersiap untuk berlari di nomor 100 (dan mungkin 200), ia percaya bahwa imannya kepada Tuhan dan kerja kerasnya dapat menempatkannya di antara yang terbaik. “Saya seorang wanita yang kuat di dalam Tuhan dan seorang pekerja keras, dan itulah yang menjadikan saya seperti sekarang ini,” katanya. “Itulah sebabnya saya berada di sini hari ini.”

Rasheed Broadbell, Jamaika

Atlet Jamaika, Rasheed Broadbell, 23 tahun, unggul dalam lari gawang 110 meter putra, memenangkan medali emas di ajang Commonwealth Games 2022.

Article continues below

Penampilan Broadbell yang menonjol memberikan harapan untuk Kejuaraan Atletik Dunia 2023. Namun di babak penyisihan, dia mengalami beberapa kali rintangan dan terjatuh.

Terlepas dari segala tantangan ini, Broadbell mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan. “Ini merupakan perjalanan yang penuh liku sejauh ini; saya bersyukur atas setiap bagiannya. Yang terpenting, saya berterima kasih kepada Tuhan karena telah membawa saya melewati semua hal ini.”

Berkaca pada kualifikasi lari gawang jarak pendek dia untuk Paris, ia berbagi di Instagram, “Saya merasa diberkati, bisa masuk tim nasional ketiga saya, tetapi saya sangat bersyukur bisa lolos ke Olimpiade pertama saya. Jika saya menceritakan kisah bagaimana saya melakukannya tanpa klip video perlombaan ini, mungkin akan terdengar gila, tetapi Tuhan terus melakukan mukjizat-Nya dalam hidup saya dan saya benar-benar merasa terhormat untuk menunjukkan apa yang telah Tuhan lakukan bagi saya.”

Olivia Lundman, Kanada

Olivia Lundman, 21 tahun, akan berpartisipasi dalam lomba lari maraton estafet campuran yang baru pertama kali diadakan di Olimpiade bersama rekan satu tim dan pelatihnya, peraih medali Olimpiade, Evan Dunfee. Pada ajang kualifikasi April lalu, Lundman berjuang keras melewati 10 kilometer terakhir dan sempat muntah dua kali. Akan tetapi, dia tetap berusaha untuk maju dan finis di posisi 22 besar untuk lolos ke Olimpiade. “Saya merasa sangat diberkati memiliki kesempatan ini dan saya bersemangat untuk perjalanan yang akan datang,” tulis Lundman di Instagram.

Lundman juga mendirikan Beneath the Surface untuk berbagi cerita tentang orang-orang muda yang hidup dengan tantangan kesehatan mental. “Saya telah belajar untuk membuka diri terhadap orang lain, menerima diri saya apa adanya, dan bersandar pada iman saya,” tulisnya . “Ini adalah sesuatu yang masih harus saya kerjakan setiap hari, tetapi saya tahu bahwa saya ditempatkan di planet ini karena suatu alasan.”

Dalam sebuah khotbah di gerejanya November lalu, Lundman bersaksi bahwa doa telah membantunya di tengah pengalaman depresi dan kecemasannya. “Saat saya sedang bergumul, saya sering berpikir, _Tuhan, kenapa Engkau meninggalkanku? Di mana Engkau?_ Saya tidak menyadari bahwa pada saat-saat saya sedang bergumul itulah, hanya Dia satu-satunya yang memampukan saya untuk terus maju dan menopang saya melewati hari demi hari.”

Article continues below
Sydney McLaughlin-Levrone, AS

Syndey McLaughlin-Levrone memecahkan rekor dunianya sendiri dengan selisih 0.03 detik di Uji Coba Olimpiade AS pada bulan Juni, di cabang lari gawang 400 meter dengan catatan waktu 50,65 detik. Penampilannya memisahkan dia dari atlet lain di posisi kedua dengan selisih hampir dua detik.

McLaughlin-Levrone telah mencetak rekor dunia lari gawang 400 meter sebanyak lima kali sejak 2021. Di Tokyo, dia membawa pulang dua medali emas, satu di nomor lari gawang 400 meter dan satu lagi di estafet 4x400. Pada tahun 2022, World Athletics menobatkannya sebagai atlet terbaik tahun ini bersama pelompat galah asal Swedia, Mondo Duplantis.

Saat dia mendefinisikan ulang batasan-batasan dalam olahraganya, McLaughlin-Levrone secara konsisten kembali kepada imannya. “Puji Tuhan,” katanya setelah mencetak rekornya di bulan Juni. “Saya tidak menyangka akan hal itu. Dia dapat melakukan apa saja. Segala sesuatunya mungkin di dalam Kristus.”

McLaughlin sangat blak-blakan tentang imannya, berterima kasih kepada Tuhan dan memuliakan-Nya di hampir setiap wawancara yang dia lakukan dalam karier atletiknya yang cemerlang. Akun Instagram dia dipenuhi dengan ayat-ayat Alkitab dan kutipan dari buku-buku Kristen. Sorotan-sorotan Instagram-nya berisi klip ayat-ayat Alkitab favoritnya dan foto-foto dari Alkitabnya yang penuh dengan garis bawah dan catatan untuk dirinya sendiri.

Keturah Orji, AS

Sebagai juara AS 10 kali dan pemegang rekor lompat jangkit, Keturah Orji berkompetisi di Olimpiade untuk ketiga kalinya. Orji, yang juga merupakan wanita pertama yang memenangkan empat gelar lompat jangkit Divisi I NCAA, berada di urutan keempat di Rio dan ketujuh di Tokyo. Bakat atletik Orji diperkuat dengan pengabdiannya pada imannya, suatu sifat yang sering ia lihat pada ibunya, yang ia kagumi karena “imannya kepada Tuhan dan cara dia menjalani hidup, cara dia peduli terhadap sesama.” Dalam unggahan Instagram dia saat merayakan kelolosannya ke Olimpiade Paris, ia mengutip Yohanes 3:27: “Tidak ada seorang pun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari surga. Bersyukur atas semua yang telah Tuhan berikan padaku.” Setelah ia memenangkan gelar nasional AS kesepuluh pada bulan Februari, ia menulis, “Terima kasih kepada semua orang yang mendoakan saya (teruslah berdoa).”

Article continues below
Tarsis Orogot, Uganda

Para pelari jarak jauh Uganda telah menempatkan negaranya di peta sebagai negara yang kuat dalam bidang lari. Tahun ini, Tarsis Orogot mungkin akan membuat negaranya terkenal dengan olahraga lari jarak pendek. Sebagai seorang mahasiswa di Universitas Alabama, pemegang rekor nasional lari 100 dan 200 meter ini, menggambarkan dirinya sebagai “seorang anak laki-laki yang memiliki impian”. Namun kemenangannya di Kejuaraan Atletik NCAA mungkin membuat impian itu menjadi kenyataan.

Di luar olahraga lari, Orogot telah membangun reputasi atas kecintaannya pada kaus kaki dan mengatakan bahwa ia biasanya menghadiri pertemuan dengan 15 pasang kaus kaki, termasuk kaus kaki dengan desain Sonic the Hedgehog, SpongeBob SquarePants, dan Avengers. “Ketika saya berlari paling cepat, saya biasanya memakai sayap,” katanya kepada Olympics.com.

Terlepas dari sifatnya yang suka bercanda, pelatihan yang dijalani Orogot membawanya pindah dari Uganda ke Kenya lalu ke AS. Ia pun menulis, “Segala kemuliaan dan pujian hanya bagi-Mu, Tuhan Yang Maha Tinggi.”

Marileidy Paulino, Republik Dominika

Tidak seperti banyak atlet profesional yang memulai kariernya sejak masih anak-anak, Marileidy Paulino, seorang atlet atletik dari Republik Dominika, memulai perjalanannya pada usia 19 tahun sebagai cara untuk menghidupi keluarganya.

Sebagai mantan pelari tanpa alas kaki, Paulino telah menjadi peraih medali perak Olimpiade di nomor individu 400 meter dan estafet 4x400 (Tokyo 2020). Selain itu, dia juga telah mendapatkan tiga medali di Kejuaraan Atletik Dunia.

Pada tahun 2021, Paulino menarik perhatian karena pesan di sepatu ketsnya: “Tuhan adalah harapanku. Amin.” Kemudian, gambar sang atlet yang memegang bendera Republik Dominika dan Alkitab menjadi salah satu momen paling mencolok di Olimpiade Tokyo.

“Saya membawa Alkitab karena saya percaya kepada Tuhan bahwa Dia membuat saya bisa meraih medali ini,” jelasnya. “Saya mendedikasikan medali ini kepada masyarakat Dominika, dan saya mendorong mereka untuk percaya kepada Tuhan, karena hanya Dialah harapan kita.”

Yemisi Magdalena Ogunleye, Jerman

Yemisi Ogunleye adalah seorang atlet tolak peluru dari Jerman yang akun Instagram-nya dengan berani menyatakan, “BUKAN AKU, TETAPI YESUS DI DALAMKU.” Ogunleye memperoleh medali perak pada World Indoor Championships awal tahun ini, dengan memecahkan rekor pribadinya sendiri sejauh 20,19 meter (66,24 kaki), dan juga meraih perak pada dua kompetisi Eropa lainnya, serta perunggu pada Kejuaraan Eropa.

Article continues below

Keyakinan Ogunleye telah membantunya melewati cedera dan kesuksesan. “Saya dicintai apa adanya,” ungkapnya. “Dengan medali atau tanpa medali, saya tetap berharga.”

Ogunleye adalah putri dari ayah berkebangsaaan Namibia dan ibu berkebangsaan Jerman, dan sebelumnya pernah berbicara tentang pengalamannya mengalami perilaku rasis. Meskipun demikian, dia tetap setia kepada Tuhan dan panggilan-Nya dalam hidupnya. “Mengetahui bahwa Tuhan telah menyiapkan jalan, maka segala kemuliaan hanya bagi Yesus,” katanya.

Bola voli

Micah Christenson, AS

Dikenal sebagai “Man of Steel” di lapangan, Micah Christenson siap untuk Olimpiade ketiganya. Sebagai atlet yang bertanding melawan atlet terbaik di dunia, sang setter telah belajar cara mengelola stres saat bermain.

“Saya seorang Kristen,” katanya. “Saya percaya kepada Tuhan, jadi saya tahu saya mendapatkan banyak kebebasan dari iman saya kepada Tuhan. Ketika saya berada di luar sana, saya merasa bebas untuk membuat keputusan yang berbeda dan mengambil sedikit risiko karena saya tahu di mana letak identitas saya dan bahwa kasih akan selalu ada.”

Ayah tiga anak ini mengatakan bahwa pengalaman mengasuh anak telah membantunya membangun hubungan lebih dekat dengan rekan-rekan satu timnya yang juga sudah menjadi ayah. Dia menambahkan bahwa memiliki anak telah memberinya perspektif baru dalam olahraga ini dan ia sangat antusias melihat mereka menonton saat dia bertanding tahun ini.

Nyeme Nunes, Brasil

Nyeme Nunes akrab dipanggil Doutora (dokter) oleh fans Brasil. Julukan ini bukan berarti prestasi akademik, melainkan merupakan bukti kehebatannya di lapangan—ia mengatur segalanya untuk tim, seperti halnya seorang dokter yang merawat pasiennya.

Nunes mulai bermain bola voli pada usia 9 tahun di bawah pengaruh ibunya, yang mengajaknya bermain olahraga tersebut di jalanan kampung halamannya, Barra do Corda, di negara bagian Maranhão di timur laut. Pada usia 13 tahun, ia telah bergabung dengan tim dewasa. Sejak 2015, dia bermain untuk Tim Nasional Brasil dan meraih beberapa medali perak bersama mereka. Pada tahun 2017, Nunes dinobatkan sebagai libero terbaik di Kejuaraan Dunia U-20.

Article continues below

Nunes merayakan pencapaiannya dengan mengunggah ayat-ayat Alkitab di media sosialnya. Setelah memenangkan Kejuaraan Klub Amerika Selatan tahun ini bersama tim klubnya, dia membagikan Mazmur 147:11, “TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orang-orang yang berharap akan kasih setia-Nya.”

Angkat Berat

David Liti, Selandia Baru

Setelah musim yang mengecewakan pada tahun 2017, David Liti meraih medali emas di Gold Coast Commonwealth Games 2018 ketika dia mengangkat beban 403 kilogram yang memecahkan rekor. Terkejut dengan kemenangannya, ia menangis di kamar mandi selama satu jam, bertanya kepada Tuhan mengenai apa yang ingin Dia katakan.

Atlet asal Tonga-Kiwi itu menyadari bahwa dia tidak pernah sendirian. “Tuhan memberi saya semua tantangan itu supaya saya bisa menjadi lebih baik, supaya saya bisa maju dan siap ketika saya menang,” ujarnya.

Liti kemudian berkompetisi di Tokyo dan menempati posisi kelima dalam cabang olahraga angkat beban untuk kelas 109 kilogram. Untuk pertandingan mendatang, atlet berusia 27 tahun itu bercanda bahwa dia berharap bisa dikenal sebagai “pemakan croissant profesional” selama berada di sana. Dia juga berkata, “Saya merasa beruntung bisa melakukan apa yang saya sukai dengan potensi saya secara maksimal dan saya bersemangat untuk pergi ke sana dan mewakili semua orang yang menjadi bagian dari perjalanan ini.”

Don Opeloge, Samoa

Setelah ia mencetak rekor baru di Pacific Games tahun lalu dan memenangkan emas di kategori 102 kilogram putra, hal pertama yang dilakukan Don Opeloge adalah bersyukur kepada Tuhan karena memberinya kekuatan. Atlet berusia 25 tahun ini mengaitkan keberhasilannya dengan Tuhan: “Saya hanya ingin memuji Tuhan karena telah memberikan saya kekuatan dan kepercayaan diri yang menuntun saya untuk melakukan yang terbaik demi meraih medali emas bagi Samoa.”

Olepoge telah merencanakan untuk bertanding di Tokyo, tetapi dia tidak dapat hadir karena pemerintah Samoa meliburkan para atletnya akibat pandemi COVID-19. Saat ia lolos ke Paris pada April lalu, Opeloge mengatakan hal yang sama: “Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan atas kekuatan dan penyertaan-Nya yang selalu menyertai dalam perjalanan saya.”

Don bukan satu-satunya anggota keluarga Olepoge yang berhasil mencapai Olimpiade. Saudara perempuannya, Mary, mewakili negaranya di Rio, sementara saudara perempuannya yang lain, Ele, menerima satu-satunya medali Olimpiade (perak) yang pernah diraih Samoa di Olimpiade Beijing 2008 setelah dua atlet lainnya didiskualifikasi karena menggunakan doping.

Article continues below

“Apa pun bakat yang Tuhan berikan kepada Anda, itu adalah tentang pelayanan kepada Tuhan, keluarga Anda dan Samoa,” kata Opeloge.

Yenni Álvarez, Kolombia

Pada usia 13 tahun, Yenny Álvarez lolos ke kompetisi nasional pertamanya. Satu-satunya masalah adalah dia tidak memiliki kartu identitas atau akta kelahiran. Remaja itu tinggal bersama bibinya setelah ibunya wafat dan ayahnya meninggalkannya. Hanya dengan bantuan pelatihnya, ia dapat menavigasi seluk-beluk birokrasi pemerintahan, mendapatkan dokumen yang ia butuhkan untuk bepergian, dan bertanding.

Kini, Álvarez akan bertanding dalam kategori angkat besi 59 kilogram di Paris. Setelah naik tingkat di cabang olahraga angkat besi, pada tahun 2015, Álvarez dinyatakan positif menggunakan boldenone dan ia pun dilarang mengikuti kompetisi selama lima tahun. Meski demikian, dia terus berlatih. Tahun lalu, dia memecahkan rekor Pan American di kategori beratnya dan merayakan kemenangannya di Instagram: “Terima kasih Tuhan, yang memberi kemenangan melalui TUHAN YESUS KRISTUS!” Álvarez mengamankan posisinya di Olimpiade pada bulan April ketika dia berada di posisi ketiga di Piala Dunia.

Awal tahun ini, Komite Olimpiade Kolombia menobatkannya sebagai atlet terbaik tahun ini. Álvarez merayakan penghargaan tersebut dengan mengunggah Yohanes 3:27 di media sosialnya: “Tidak ada seorangpun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari surga.”

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

[ This article is also available in English español Português Français 简体中文 한국어 繁體中文, and 日本語. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]