Saya pernah tinggal di Jerman selama enam bulan dan berjuang keras untuk mempelajari bahasanya. Saya bisa memesan bahan makanan atau membeli tiket bus. Namun saya tidak bisa menceritakan lelucon. Saya tidak bisa berbagi cerita atau harapan. Saya tidak bisa mendapatkan teman.

Berpikir bahwa sekolah bahasa lain mungkin bisa membantu, saya menelepon sebuah sekolah baru di kota kecil kami, Tübingen, dan berbicara dengan direkturnya. Dalam bahasa Jerman, dengan sabar ia memberikan petunjuk arah ke sekolah dan mengundang saya untuk tes penempatan. Ketika saya datang beberapa hari kemudian, dia menyapa dengan memanggil nama saya. Dia ingat suara dan aksen saya. Bahkan, dia tahu nama semua orang. Dia menyapa semua orang dengan luapan kegembiraan yang sama, yang memberikan rasa kepercayaan secara langsung.

Itu adalah pertama kalinya saya mendengar betapa indahnya bahasa Jerman. Ada kebaikan di dalamnya. Saya tahu bahwa jika saya mengamati dia, saya akan menemukan cara untuk menyuarakan kegembiraan dan kelembutan dalam bahasa yang baru ini. Dalam dirinya, saya melihat versi diri saya sendiri—atau setidaknya versi yang saya inginkan.

Mentoring yang efektif mirip dengan mempelajari bahasa baru: Ini melibatkan praktik menirukan apa yang dilakukan. Ini adalah sebuah relasi yang mengajak kita untuk mendengarkan terlebih dahulu, memupuk rasa ingin tahu, mengembangkan keterampilan baru, dan melakukan uji coba sampai suatu hari Anda menemukan versi yang cocok.

Lebih dari sekedar mimikri

Orang sering mencari mentor di masa transisi ketika mereka perlu mengembangkan keterampilan atau pekerjaan baru atau merasa tidak yakin dengan masa depan mereka. Mentor menjadi semacam teman unik yang mengetahui kondisi orang yang didampinginya sebelum dan sesudahnya—dan sering kali terjadi kekacauan di antaranya. Mentoring adalah suatu bentuk persahabatan yang mengingatkan kita akan siapa diri kita sambil memberikan kesinambungan dengan siapa kita menjadi nantinya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan konteks yang baru.

Dalam gereja, mentoring sangat penting untuk pengembangan kepemimpinan—tidak hanya bagi para pemimpin di masa depan, melainkan juga bagi pertumbuhan dan keberlangsungan mereka yang telah melayani sebagai pendeta. Bagi para pendeta, mentoring sering kali paling efektif jika berasal dari sesama pendeta atau pemimpin di luar konteks gerejanya sendiri. Mentoring ini dapat berfungsi sebagai bentuk pemuridan yang unik bagi para pendeta, yang meminta kedua partisipan untuk memulai dari kemurahan hati.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Namun mentoring di gereja juga bisa berakibat buruk. Bahayanya muncul ketika keinginan untuk menjadi yang terbaik dan ketakutan akan kegagalan mengarah pada sekadar menghafal dan meniru (mimikri). Dengan pendekatan tersebut, seseorang mungkin dapat mempelajari beberapa kata dari bahasa tersebut, tetapi dia akan kurang memiliki kreativitas dan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk benar-benar hidup di dalamnya.

Lebih baik daripada akses menuju kekuasaan

Sayangnya, dalam dunia bisnis dan di beberapa konteks Kristen, mentoring lebih mirip seperti perluasan jaringan. Ini suatu proses mencari tahu apa yang bisa dilakukan seseorang untuk orang lain. Mentor Anda akan membantu, mendukung, dan memberi Anda nasihat. Beberapa rencana suksesi gereja yang didasarkan pada model “mentoring” ini juga melibatkan pewarisan kekuasaan. Kekuasaan atau pengaruh dipahami sebagai sesuatu yang diwariskan dan diserahkan. Oleh karena itu, maka mentoring adalah tentang kendali dan ambisi, bukan persahabatan yang terbuka terhadap kerentanan, serta mendorong otentisitas dan pertumbuhan.

Tidak ada yang salah dengan hal itu dalam beberapa konteks tempat kerja, tetapi bagaimana dengan di gereja? Pendekatan jejaring dalam mentoring ini tidak meminta kita untuk memandang kekuasaan secara berbeda. Pendekatan ini juga tidak meminta kita untuk meletakkan beban kita, memikul salib kita, dan mengikut Juru Selamat yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita secara cuma-cuma.

Mentoring yang sejati dapat menawarkan sesuatu yang jauh lebih baik daripada akses terhadap kekuasaan. Salah satu penggunaan pertama kata mentor berasal dari Odyssey yang merupakan karya Homer. Dalam epos tersebut, teman lama Odysseus, Mentor, mengawasi putra Odysseus, Telemakus, saat dia pergi. Dewi Athena menyamar sebagai teman lama keluarga ini untuk memberikan kepada Telemakus muda keberanian yang dia butuhkan untuk perjalanannya sendiri.

Saya sering membahas contoh ini dengan kelompok-kelompok pendampingan yang saya bantu atur untuk para pendeta dan para mahasiswa teologi yang baru saja lulus dari seminari tempat saya melayani. Saya menjelaskan, dalam contoh ini kita menemukan bahwa mentor adalah seseorang yang membantu orang lain untuk mengambil langkah pertamanya dalam perjalanan panggilan Tuhan. Mentor membantu orang yang dimentoring olehnya untuk menemukan keberanian.

Mentor hadir sebagai teman. Ahli Perjanjian Lama, Walter Brueggemann, menulis bahwa jika mentoring berhasil, maka hal itu akan membuka jalan untuk dapat saling belajar. Kedua orang tersebut akan terhubung dalam persahabatan dan kerentanan, masing-masing dapat belajar dari yang lain, dan dalam hubungan itu mereka akan mampu membayangkan “realitas sosial baru” bersama-sama.

Article continues below

Baru-baru ini saya melihat hal tersebut ketika seorang pendeta senior yang berada di pertengahan karirnya mengiyakan untuk membimbing seorang rohaniwan muda yang baru memulai pelayanan di sebuah gereja. Baik mentor maupun orang yang dimentoringnya sama-sama mendapati diri mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama seputar ibadah, khotbah, dan pemuridan selama pandemi. Bersama-sama, dalam percakapan satu sama lain, mereka mulai melakukan perubahan di gereja masing-masing untuk beradaptasi dengan kebutuhan saat ini. Para rohaniwan ini memperlambat langkah mereka, mencoba hal-hal baru, dan membiarkan kepercayaan memimpin mereka. Mereka membentuk imajinasi satu sama lain dan pada gilirannya melihat jemaat mereka melalui sudut pandang yang baru.

Mentoring sebenarnya mengajarkan kita bagaimana agar tidak memegang kendali atau memegang kekuasaan ketika situasi hidup menuntut perubahan. Akan tetapi mempelajari hal ini memerlukan latihan, dan menurut rasul Paulus, hal ini juga memerlukan peneladanan.

Persahabatan dengan Paulus

Sulit bagi saya untuk membayangkan hidup saya hari ini tanpa teman-teman pelayanan yang telah membimbing saya selama ini. Sepanjang yang saya ingat, saya mempunyai teman-teman baik yang menunjukkan kepada saya kebenaran tentang diri saya. Teman-teman dalam pelayanan dapat mengingatkan kita bahwa tidak ada yang dapat kita lakukan untuk memperoleh panggilan ini, pelayanan ini, tetapi setelah kita menerima panggilan Tuhan, kita bisa terus berpartisipasi dalam banyak pekerjaan baik. Masing-masing dari kita dapat menambahkan gaya kita sendiri, suara otentik kita, sambil tetap menjaga kesinambungan dengan konteks panggilan kita yang lebih luas: misi gereja.

Kita secara konsisten melihat tema persahabatan dan saling menguatkan di antara para pemimpin dalam surat-surat Paulus. Paulus menyukai orang-orang. Kita sering berfokus pada koreksi yang diberikan Paulus, dan lupa bahwa ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memberi tahu orang-orang bahwa Tuhan ada di pihak mereka, apa pun keadaan mereka. Kita melihat hal ini terutama dalam surat Filipi.

Jemaat di Filipi sangat dekat dengan Paulus. Mereka mengirimkan makanan dan hal-hal yang ia butuhkan, serta berdoa dan mengkhawatirkannya. Sebagai balasannya, Paulus menulis surat dari penjara tentang sukacita. Sebelum ia mengucapkan terima kasih kepada mereka, ia menulis, “Ikutilah teladanku, dan perhatikanlah mereka, yang yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.” (3:17). Undangan yang sama untuk mengikut teladan Paulus juga dapat kita temukan dalam surat-surat Paulus lainnya (1Kor. 4:16; 11:1; 1Tes. 1:6).

Article continues below

Ajakan ini mungkin tampak arogan atau narsis bagi kita saat ini, terutama ketika kita mendengarnya diucapkan oleh para pendeta pesohor. Namun Paulus bukanlah seorang pendeta pesohor yang baik: Citra yang ia tekankan adalah selalu tentang tidak memiliki kendali. Permintaan Paulus untuk mengikuti teladannya adalah sebuah ajakan untuk berpikir secara berbeda mengenai kekuasaan dan pengaruh—yaitu kekuasaan dan pengaruh dia dan kita. Ini merupakan ajakan untuk meneladani kepercayaan dan kesetiaan Yesus.

Kajian Perjanjian Baru yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir—termasuk karya-karya seperti Paul and First-Century Letter Writing, Paul, the Letter Writer, dan Paul the Ancient Letter Writer—telah membahas bagaimana surat-surat ditulis dan dikomunikasikan dalam budaya lisan. Meski kita mungkin cenderung menganggap bahwa menulis surat adalah suatu tindakan yang dilakukan sendirian, tetapi Paulus menulis dalam komunitas untuk komunitas. Sangat mungkin bahwa proses penulisan surat melibatkan praktik peniruan di mana surat-surat tersebut disampaikan sebagai sebuah pertunjukan, yang kemungkinan besar disampaikan oleh orang-orang yang telah mengamati Paulus dalam menulis surat. Mereka mempelajari tingkah laku dan nada bicara Paul. Mereka mungkin meniru bahasa tubuhnya agar sesuai dengan prinsip-prinsip perilaku tertentu dari Paulus. Mereka meneladaninya.

Dalam tafsiran Romans Disarmed, cendekiawan Sylvia Keesmaat dan Brian Walsh membantu kita berpikir tentang bagaimana praktik peniruan ini dapat terulang kembali dalam komunitas Kristen. Mereka membayangkan bagaimana orang-orang percaya di Roma bertemu di dapur-dapur, satu orang membacakan surat kepada yang lain, menguraikannya secara rinci dan menjelaskannya sampai, seiring berjalannya waktu, orang berikutnya dapat menyampaikan pesan tersebut kepada orang lain. Keesmaat dan Walsh mengatakan bahwa kita harus melihat setiap surat ini sebagai sesuatu yang tidak hanya diterima satu kali oleh satu kelompok tertentu, melainkan diterima dan kemudian disampaikan berulang kali, disertai dengan waktu untuk menjawab pertanyaan dan penjelasan lebih lanjut. Teks ini disampaikan dalam komunitas, dimodelkan sedemikian rupa sehingga menciptakan hubungan. Setiap surat mengajukan Paulus sebagai teladan untuk diikuti—tetapi teladan ini hidup.

Article continues below

Ahli Perjanjian Baru, Elizabeth Shively, menunjukkan bahwa dalam surat Filipi, kata teladan yang digunakan Paulus adalah kata Yunani typos, yang juga bisa berarti meterai atau stempel. “Yesus Kristus adalah arketipe (pola dasar),” tulisnya, “typos yang membekas dalam kehidupan Paulus. Ini adalah jenis kehidupan tertentu yang membutuhkan pola pikir tertentu: tidak menuntut hak-hak Anda sendiri, menganggap kebutuhan orang lain lebih penting daripada kebutuhan Anda sendiri.”

Apa yang terjadi ketika seorang mentor melihat kebutuhan orang lain lebih penting daripada kebutuhannya sendiri? Jika kita melihat Paulus sebagai teladan bagi seorang mentor Kristen, kita akan menemukan seseorang yang terus-menerus membuka topengnya untuk mengungkapkan arketipe yang sebenarnya: Yesus Kristus. Dan ketika orang lain berdiri untuk melakukan perkataannya, mereka meneladani Paulus yang meneladani Kristus.

Kemampuan untuk percaya

Hubungan mentoring seperti itu di antara para pendeta di gereja-gereja kita menawarkan kekuatan transformatif yang sama: kemampuan untuk percaya tanpa harus memegang kendali. Itulah mentoring Kristen.

Seperti halnya Paulus, ini adalah kekuatan untuk melepaskan kekuasaan. Ini adalah kemampuan untuk keluar dari cara berpikir kita yang terkotak-kotak, yang terpenjara oleh pemikiran kita tentang apa yang harus kita hilangkan dan apa yang pura-pura kita kendalikan. Dengan demikian, maka kita dapat menulis surat yang dapat dilakukan oleh orang lain. Ini adalah kabar baik dari Tuhan yang dinyatakan ketika kita meneladani Kristus. Mungkin sebagian dari tingkah laku sang mentor yang menyenangkan masih tertinggal dalam peneladanan tersebut. Mungkin orang lain akan belajar, dengan logat mereka sendiri, untuk memberikan petunjuk sederhana menuju suatu tempat di mana setiap orang dapat disapa dengan nama mereka.

Mentor yang baik tidak pernah puas jika orang yang dibimbingnya hanya meneladani dirinya. Pada akhirnya, seorang mentor Kristen yang baik memercayai orang yang dibimbingnya untuk memberikan, sebagai gantinya, gambaran tentang Kristus.

“Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu,” kata Paulus kepada jemaat di Filipi (1:3–5). “Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil....”

Article continues below

Elemen sentral dari mentoring adalah tindakan mempraktikkan kolaborasi dan kepercayaan. Ini adalah kepercayaan yang menghasilkan kemurahan hati. Dengan pikiran yang murah hati, kita selalu bisa membayangkan persahabatan yang terus berlanjut. Kita dapat melihat perjalanan gereja yang tak terbatas dan mendengar suara-suara baru dari mereka yang menyuarakan sukacita yang akrab dan baru.

Beth Jarvis adalah direktur Ministry Resource Center di Universitas Milligan, di mana dia membantu para pendeta untuk terhubung satu sama lain agar berkembang dalam pelayanan. Dia adalah pendeta yang ditahbiskan dan memiliki gelar M.Div. dari Emmanuel Christian Seminary di Milligan.

Diterjemahkan oleh Budi M. Winata.

[ This article is also available in English and 한국어. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]