Saya telah berdiri mengantre selama lebih dari satu jam, menunggu untuk bertemu dengan seorang wanita yang putrinya, yaitu pacar dari putra saya, baru saja meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil.

Sambil menunggu, saya menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan emosi saya. Nasib telah membuat kami kewalahan. Karir saya di bidang keuangan baru saja merosot karena saya dipecat sebagai pelapor. Kami secara drastis harus memotong pengeluaran dan terancam kehilangan rumah. Dan saya menghadiri pemakaman untuk kedua kalinya dalam tiga minggu.

Sembilan belas hari sebelum Kira meninggal, pacar dari putra saya yang lain, Ashley, bunuh diri. Pemakamannya sederhana dan penuh kesedihan. Namun sesuatu yang luar biasa terjadi. Debbie, teman dari keluarga Ashley, mendekati saya dan istri saya dengan ramah. Berkali-kali, dia datang untuk menanyakan apakah kami atau putra kami memerlukan dukungan. Dalam lautan kegelapan, Debbie adalah satu-satunya cahaya yang kami lihat di hari itu. Saya terkejut, terhibur, dan tertarik pada kehangatan dan kasih sayangnya.

Namun saya segera melupakannya, tenggelam oleh banyaknya tragedi yang telah merenggut hidup kami.

Kini saat kami berdiri mengantre untuk memberikan penghormatan kepada ibu Kira, saya melihat Debbie lagi. Dia bertanya tentang kedua putra kami, prihatin karena keluarga kami telah mengalami dua kehilangan dalam waktu singkat. Dia menanyakan dengan memperlihatkan lebih banyak kebaikan, lebih banyak cahaya, lebih banyak kelembutan, yang terukur dengan cermat, tepat saat kami membutuhkannya.

Saat dia berjalan pergi, saya berbalik untuk menyembunyikan air mata saya. Dalam hati saya bertanya-tanya, Siapakah yang seperti itu?

Pikiran saya kembali tertuju pada kedua putra saya, yang seperti baru saja kembali dari perang. Saya tahu mereka membutuhkan bantuan untuk menyatukan kembali kehidupan mereka yang telah hancur.

Antrean semakin pendek ketika saya mempertimbangkan apa yang harus saya katakan pada ibunya Kira. Karena saya belum pernah bertemu dengannya, saya hanya mengetahui dua hal tentang dia: Dia sangat dekat dengan putrinya, dan dia adalah seorang Kristen. Saya tidak menyukai “orang-orang gereja.” Menurut pendapat saya, orang-orang Kristen berpikiran sederhana dan suka menghakimi secara munafik. Akan tetapi saya mengesampingkan perasaan-perasaan itu untuk melatih kalimat belasungkawa yang ingin saya sampaikan.

Saat saya mempersiapkan diri untuk berbicara, dia mengulurkan tangan dan meraih tangan saya dengan ramah. Kemudian dia mengejutkan saya dengan berbicara tentang kesedihan keluarga saya dan bukan kesedihannya sendiri. “Saya sangat menyesal Zach kehilangan Ashley,” katanya. “Kami berteman dengan keluarga Ashley, jadi kami tahu betapa tragisnya kejadian ini. Nanti setelah semua ini selesai, apakah saya boleh meluangkan sedikit waktu bersama Zach?”

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Saya tercengang. Tak bisa bicara. Istri saya pun segera mengambil alih, bercakap-cakap dengan baik, dan menyampaikan selamat tinggal.

Sambil berjalan pergi, saya bertanya pada alam semesta, Apa yang terjadi di sini? Dia baru saja kehilangan putrinya, sahabatnya, dan dia ingin memperhatikan putra saya? Siapa yang melakukan itu?

Beberapa menit kemudian, Debbie datang lagi dan berkata, “Hai, pendeta kami ada di sini. Apakah kamu mau bertemu dengannya?”

Pikiran saya pun terpecah. Pada satu sisi, saya berpikir, Tidak! Saya tidak mau bertemu pendeta. Saya tidak suka pendeta. Saya tidak suka orang gereja. Pada sisi lain , Hmm… ada yang aneh di sini, dan saya jadi penasaran. Jika pria ini bahkan hanya setengah baiknya dari kedua wanita ini, mungkin saya harus bertemu dengannya.

Lalu saya mendapati bibir saya mengeluarkan kata-kata dengan sendirinya: “Tentu, saya mau.”

Ternyata Pendeta Peter memang setengah baiknya dari kedua wanita tadi, dan bahkan sebenarnya lebih dari setengahnya. Dia kuat dan menenangkan. Dan dia mengundang putra-putra kami ke kelompok kedukaan baru yang ia gagas. Saya tidak tahu bagaimana cara membantu anak-anak saya, tetapi dia tahu.

Dalam perjalanan pulang, istri saya menoleh ke arah saya dan berkata, “Saya mau mulai pergi ke gereja.” Itu bukanlah permintaan atau ajakan untuk bergabung dengannya. Dia tahu saya benci gereja. Meski demikian, saya menawarkan diri untuk ikut.

Pada acara pemakaman keesokan harinya, istri saya mendengar kata-kata kehidupan yang diambil dari Kitab Suci, dan kenangannya tentang pergi ke gereja saat remaja muncul kembali di benaknya. Dia diselamatkan ketika itu juga.

Namun masa muda saya yang belum pernah ke gereja dan penuh semangat pemberontakan diri mengurung saya dalam pertempuran yang berlangsung berbulan-bulan. Tentu saja, saya merasakan sesuatu yang menggugah pada saat pemakaman itu dan pada Minggu pagi berikutnya. Akan tetapi saya tidak terlalu peka. Saya seorang pemikir, dan yang paling banyak saya pikirkan adalah setiap argumen yang menentang Yesus Kristus serta Alkitab.

Beberapa minggu setelah pemakaman, ayah mertua mengirim sebuah Alkitab studi melalui pos untuk saya. Sekali lagi saya bergumul: Haruskah saya membaca buku yang saya bersumpah tidak akan pernah membacanya—buku yang, dalam pandangan saya, ditulis oleh raja-raja zaman dahulu untuk mengendalikan massa? Saya mengambilnya dan berkata, “Tuhan, jika Engkau ada di dalam buku ini, saya akan sangat kesal, karena saya sudah melakukan kesalahan selama 50 tahun. Namun saya rasa… saya ingin tahu.” Saya membuat keputusan untuk membacanya, dari awal sampai akhir.

Article continues below

Tiga bulan kemudian, saya sedang membaca kitab Imamat ketika saya mulai mendengar dari Tuhan. Bukan suara yang jelas terdengar—hanya suatu perasaan. Perasaan mengenai Pribadi yang penuh kasih, baik hati, memberi semangat, kuat, sangat personal, dan ada bagi saya.

Sementara itu, saya mulai meninjau kembali karakter saya bersama Tuhan. Setiap malam saat membaca Alkitab, saya berbincang tentang bagaimana saya berhasil atau gagal. Ini mungkin terdengar aneh, tetapi bagi saya itu tampak wajar. Saya telah membaca tentang bangsa Israel, yang diperlakukan dengan sangat baik dan dijanjikan begitu banyak oleh Tuhan hanya dengan satu syarat—untuk tetap setia. Jadi setelah mendengar tentang bangsa Israel yang berubah-ubah dalam kitab Kejadian dan Keluaran, saya siap untuk mengevaluasi diri saya sendiri.

Tak lama kemudian, Tuhan mulai bekerja dalam diri saya, mengubah kebiasaan buruk dan kegagalan moral saya. Selangkah demi selangkah, saya bersama Tuhan berupaya meningkatkan karakter saya. Hal ini berlangsung selama dua tahun, ketika Tuhan membantu membersihkan saya dari setiap dosa yang disengaja dalam hidup saya, termasuk alkoholisme.

Selama proses ini, saya pun jatuh cinta. Saya tidak sabar untuk membuka Alkitab saya setiap malam. Tak lama kemudian, saya mulai berbicara dengan Tuhan di siang hari juga. Dia selalu bersama saya, menyemangati saya dalam kegagalan dan merayakan kemenangan bersama saya.

Mengapa, saya bertanya-tanya, tidak ada seorang pun yang memberitahu bahwa saya bisa hidup seperti ini? Saya memiliki Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang berbicara kepada saya secara pribadi setiap kali saya mau. Dan Dia ingin saya bersama-Nya!

Atas: Alkitab pribadi Randy Loubier. Bawah: Gereja Loubier di New Boston, New Hampshire.
Image: Fotografi oleh Doug Levy untuk Christianity Today

Atas: Alkitab pribadi Randy Loubier. Bawah: Gereja Loubier di New Boston, New Hampshire.

Saya membutuhkan waktu 14 bulan untuk mencerna Perjanjian Lama secara menyeluruh. Ketika saya sampai di Maleakhi, saya mulai merasa gugup. Sebentar lagi saya akan meninggalkan Allah saya—Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub—untuk berjumpa dengan Yesus.

Pada saat itu, saya bertemu setiap minggu dengan pendeta saya, menghujaninya dengan argumen-argumen lama saya. Dia juga menyiapkan acara sarapan mingguan untuk para pria bersama dengan orang-orang Kristen yang kerohaniannya kuat, yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dan menguatkan perjalanan iman saya.

Article continues below

Namun saya masih gugup untuk bertemu Yesus. Saya telah belajar banyak tentang Dia dari orang-orang yang saya hormati. Anehnya, bagi orang yang otak kirinya kuat, berorientasi sains, dan hanya mengandalkan fakta-fakta, pengetahuan di kepala saja tidak cukup. Saya telah membangun hubungan dengan Tuhannya Abraham, Ishak, dan Yakub; Dia adalah kekasih saya, tempat perlindungan saya, tempat persembunyian saya, penolong yang selalu ada di saat-saat sulit.

Bayangkan betapa senangnya saya ketika saya mulai membaca Matius dan hubungan kami tidak berubah sama sekali! Ketika saya mengenal Yohanes dan membaca tentang Firman yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita, saya menemukan bahwa saya telah berbicara dengan Yesus selama ini.

Hari ini, saya tetap menjadi pembaca Alkitab yang sangat rajin. Yesus, Sang Firman, adalah segalanya bagi saya. Dia menyelamatkan saya. Itu bukanlah kata-kata yang saya ucapkan atau dengar dari orang lain. Itu adalah Firman.

Namun jangan salah, gerejalah yang pertama kali menyulut rasa penasaran saya. Jika umat Tuhan tidak membuat saya bertanya-tanya tentang kasih mereka yang unik, saya tidak akan pernah membuka Firman Tuhan, dan saya sendiri tidak akan pernah jatuh cinta pada Tuhan.

Randy Loubier adalah pendeta di Chestnut Hill Chapel di New Boston, New Hampshire. Dia adalah penulis beberapa buku non-fiksi dan novel, termasuk Slow Brewing Tea.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]