Unduh Renungan Prapaskah

Sekitar sebulan sebelum pernikahan saya, saya mulai bermimpi bahwa saya sedang sekarat. Saya menelepon saudara perempuan saya yang memiliki gelar master dalam konseling dan dia meyakinkan saya bahwa itu tidak berarti bahwa saya telah memilih pasangan hidup yang salah seperti dalam film So I Married an Axe Murderer, melainkan orang sering memimpikan kematian ketika memulai perubahan hidup yang radikal. Kematian menandakan berakhirnya satu musim dan dimulainya musim yang baru. Jiwa saya berduka atas berakhirnya masa lajang saya. Namun kematian kehidupan lama saya ini juga membawa harapan besar untuk hal yang akan datang. Ketika saya merenungkan momen kita saat ini, saya ingin kita memimpikan kematian lagi, dengan harapan akan kebangkitan. Saya percaya kita perlu mematikan gagasan kita tentang kesuksesan di gereja, tetapi terutama dalam hidup kita.

Secara etimologis, kata “sukses” berasal dari bahasa Latin successus, yang berarti kemajuan atau pendakian. Seseorang mungkin memvisualisasikan sebuah gunung, menggunakan metafora dari buku David Brooks tahun 2019, The Second Mountain, di mana seseorang mencapai penghargaan dan prestasi pribadi maupun profesional. Brooks mengenang dengan penyesalan bahwa hingar-bingar mendaki gunung pertama itu membuatnya berubah menjadi “pribadi yang berbeda: pribadi yang menyendiri, keras, dan tidak komunikatif... Saya menghindari tanggung jawab atas hubungan yang intim.” Gunung kesuksesan ini adalah tempat yang sepi. Para pemenang puncaknya termasuk miliarder yang menikmati perjalanan luar angkasa, tetapi ada juga pendeta yang membangun platform selebritas mereka, dan siapa pun dari kita yang mendefinisikan kebahagiaan berdasarkan posisi, prestise, atau kekuasaan.

Kita mungkin berpikir bahwa hal ini tidak seperti kita: kita tidak mengejar ketenaran dan kekayaan. Akan tetapi seberapa sering kita membuat keputusan dan pilihan rutin yang meninggikan narasi kesuksesan duniawi? Apakah kita mendorong anak-anak kita bukan hanya untuk berprestasi tetapi juga untuk “mendapatkan nilai bagus?” Apakah kita menerima promosi di tempat kerja, meskipun hal itu berarti kehilangan waktu bersama keluarga dan teman? Apakah kita menyensor obrolan ringan atau profil media sosial untuk menyoroti bagian sukses dari cerita kita? Dalam perbincangan saya dengan para pendidik, pendeta, pembuat kebijakan, dan sebagainya, saya selalu menyadari bahwa evaluasi, reputasi, atau hasil selalu menjadi yang pertama dalam pikiran mereka. Kesuksesan harus dihitung dan diukur, terlepas dari keyakinan kita bahwa Tuhanlah yang menanam dan menabur banyak buah yang tidak terlihat.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Baru-baru ini saya menghadiri sebuah konferensi di mana saya melihat seorang teman pria dan saya berlari mendekat untuk menyapanya. Dia sedang berbicara dengan seorang wanita yang tidak saya kenal. Saya menyapa wanita itu, tetapi ia tetap duduk. Saya mencoba untuk melibatkan dia ke dalam percakapan dan mencari tahu tentangnya. Dia baru bersedia berdiri dan memperhatikan saya setelah teman saya memperkenalkan saya dengan daftar penghargaan dan publikasi saya. Tanggapan seperti itu membuat saya merasa sedih. Jika dia tidak tahan untuk berbicara dengan saya tanpa resume saya, maka dia tidak boleh berdiri hanya karena mengetahui keberhasilan saya.

Walker Percy pernah menyindir, “Anda bisa mendapatkan semua nilai A dan masih gagal dalam hidup.” Bagaimana kita bisa menghilangkan anggapan umum bahwa sukses itu penting? Dalam Alkitab, kehidupan sukses menampilkan peringatan yang mengerikan: Raja Saul, Raja Daud, Raja Salomo. Namun justru kehidupan para nabi yang tidak didengarkan itulah yang ditinggikan Allah: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel. Atau, kehidupan dengan kegagalan terbesar, di mata dunia, seperti Yesus Kristus, yang karena pelayanan-Nya menyebabkan Dia dieksekusi di tangan orang-orang yang Ia layani. Sepanjang tradisi gereja, para rasul dan orang-orang suci meneladani kegagalan ini, menjadi martir, asketik, hamba Tuhan yang terlupakan. Lalu mengapa kita, di abad ke-21, terus-menerus beralih kepada ambisi-ambisi palsu, dan bagaimana kita mematikannya?

Mountain Landscape with Bridge
Image: Image: Thomas Gainsborough / National Gallery of Art Open Access

Mountain Landscape with Bridge

“Orang mati itu terbaring, seperti semua orang mati selalu terbaring, dengan cara yang sangat berat”—begitulah awal dari buku The Death of Ivan Ilych karangan Leo Tolstoy. Judulnya sudah memberitahukan plotnya; kita sudah tahu ceritanya tentang kematian karakter utama kita. Kita perlu peduli dengan kematian Ivan karena hidupnya terdengar sangat mirip dengan kita. Saat kematian mendekat, Ivan menyadari bahwa dia “telah menurun” sementara dia membayangkan sepanjang waktu dia “naik”: “Saya semakin naik dalam opini publik, tetapi pada tingkat yang sama hidup saya terus menurun.” Ivan telah mendaki gunung kesuksesan yang palsu. Dia memiliki sebuah rumah yang tampak kaya dengan “semua hal yang dimiliki orang-orang dari kelas tertentu agar menyerupai orang lain dari kelas itu.” Penulis mengisyaratkan bahwa kehidupan sukses Ivan dibangun di atas fondasi yang rapuh. Kebahagiaan yang diperolehnya adalah karena menyesuaikan diri, seolah-olah menjadi seperti orang lain, yang berarti memiliki apa yang dimiliki orang lain.

Article continues below

Ketika Ivan menyadari bahwa dia akan mati, dia menjerit dalam ketakutan, erangan, dan protes. Ivan tidak mau mati; dia tidak boleh mati. Ivan belum siap untuk mati. Dalam pergolakan penderitaannya, “sebuah pertanyaan tiba-tiba terlintas di benaknya: ‘Bagaimana jika seluruh hidupku ini telah salah?’” Saat Ivan merenungkan hal ini, dia menyadari bahwa “dorongan hati yang hampir tidak terasa yang telah dia tekan segera, mungkin adalah hal yang nyata, sedangkan yang lainnya adalah palsu. Dan seluruh hal yang dia lakukan untuk hidupnya dan keluarganya, serta segala keinginannya, semuanya itu mungkin tipuan.” Hanya dengan menghadapi kematian, Ivan melihat semua kesuksesannya seperti asap dan cermin, sedangkan hal-hal yang nyata telah dia abaikan.

Ivan diubah oleh pengharapan bahwa, meskipun dia hidup dalam mengejar cita-cita palsu, dia bisa mati dengan baik. Dia melihat putranya mencium tangannya, dan istrinya dengan “air mata yang belum kering di hidungnya”, dan dia berempati dengan mereka. Dia ingin merawat rasa sakit mereka lebih dari rasa sakitnya sendiri. Dia mencoba untuk mengatakan, “Maafkan saya,” tetapi hanya bisa mengucapkan “Lepaskanlah.” Dengan pemahaman yang baru tentang apa yang penting, ketakutan Ivan akan kematian pun ditaklukkan. Gunung yang tua itu pun larut menjadi debu. Cahaya menggantikan kematian, dan kegembiraan mengalahkan rasa sakit.

Dalam memoar pertobatan Brooks, ada gunung lain yang harus didaki, melewati puncak kesuksesan yang lebih kecil—yang disebut Brooks sebagai “Gunung Kedua.” Bagi Brooks, gunung pertama menawarkan kebahagiaan sesaat, yang kontras dengan kegembiraan di puncak gunung kedua:

Kebahagiaan berasal dari pencapaian, sedangkan sukacita berasal dari mempersembahkan pemberian. Kebahagiaan memudar; kita bisa menjadi terbiasa dengan hal-hal yang dulu membuat kita bahagia. Namun sukacita tidaklah memudar. Hidup dengan sukacita berarti hidup dengan ketakjuban, kebersyukuran dan pengharapan. Orang-orang yang berada di gunung kedua telah diubah.

Article continues below

Melalui Ivan Ilych, kita menyaksikan transformasi yang indah ini. Meskipun kita telah mendengar kebenaran ini sebelumnya, kita terus hidup seolah-olah gunung kesuksesan pertama adalah puncak yang sesungguhnya. Akan tetapi gunung pertama itu harus mati dalam pandangan kita. Hanya gunung Sinai, Tabor, dan Golgota sajalah yang menjadi tempat sebenarnya. Gunung-gunung ini harus bangkit, menjadi tujuan suci dari hidup kita, yang harus kita daki seumur hidup kita. Untuk mendaki gunung-gunung suci ini, kita perlu melepaskan impian kita akan kesuksesan. Karena puncak dari gunung kedua ini, seperti yang dicontohkan oleh Juruselamat kita yang agung, tidak membutuhkan ambisi melainkan kepatuhan, transfigurasi, dan kematian atas ambisi kita.

Jessica Hooten Wilson adalah dosen Liberal Arts penuh waktu di Seaver College-Pepperdine University and Senior Fellow di Trinity Forum. Ia penulis dari beberapa buku. Bukunya yang terbaru berjudul The Scandal of Holiness: Renewing Your Imagination in the Company of Literary Saints.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

[ This article is also available in English and Français. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]