Indonesia memiliki populasi umat muslim terbesar di dunia. Namun Islam bukanlah agama negara.

Sebaliknya, negara kepulauan yang berpenduduk lebih dari 273 juta jiwa ini didasarkan pada Pancasila, sebuah teori filosofis Indonesia yang terdiri dari lima prinsip: Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan nasional, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan 87 persen populasi umat Islam Sunni dan 10 persen penduduk Kristen, Indonesia terkadang kesulitan menentukan bagaimana keharmonisan umat beragama bisa terwujud.

Dalam beberapa tahun terakhir, umat Kristen menjadi sasaran serangan teroris yang tersebar di berbagai wilayah, dilarang membangun gereja, dan didakwa dengan undang-undang penodaan agama. Open Doors menempatkan Indonesia pada peringkat ke-33 negara paling berbahaya bagi umat Kristen pada tahun lalu.

Pada saat yang sama, Presiden Joko Widodo telah berupaya untuk mendorong toleransi beragama dan meminta para kepala provinsi dan kabupaten untuk memastikan semua agama dapat beribadah dengan bebas. Tahun depan, pemerintah akan mengubah nama Yesus dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia untuk penyebutan hari raya umat Kristen.

Bagi banyak orang, Islam dan identitas nasional saling terkait erat: Survei Pew Research Center baru-baru ini mendapati 81 persen masyarakat Indonesia mengatakan bahwa menjadi muslim sangat penting untuk benar-benar menjadi orang Indonesia. Sebanyak 64 persen lainnya percaya bahwa syariah, atau hukum Islam, harus diterapkan sebagai hukum nasional.

Pada sisi lain, para peneliti Pew juga menemukan 60 persen masyarakat Indonesia menganggap agama Kristen sesuai dengan budaya dan nilai-nilai lokal. Masyarakat muslim Indonesia juga lebih khawatir terhadap pertumbuhan ekstremisme Islam (54%) dibandingkan pertumbuhan agama Kristen (35%).

Apakah perbedaan-perbedaan ini menunjukkan adanya pandangan terbuka terhadap pluralisme agama di kalangan umat Islam di Indonesia? Meskipun negara kepulauan ini memiliki kompleksitas dan tantangan yang semakin besar, seberapa dalam dialog antaragama dan kerja sama yang tulus dapat meningkatkan dan melestarikan kesepahaman di antara umat Kristen dan Muslim?

CT mewawancarai tiga pemimpin Islam moderat dan tiga pemimpin Kristen (biodata tercantum di bawah) mengenai berbagai topik termasuk peran syariah dalam masyarakat, hubungan antara agama dan identitas nasional, dan bagaimana umat Kristen dan Islam dapat bekerja sama demi kebaikan Indonesia.

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Tanggapan mereka, yang telah diedit dan dipersingkat agar lebih jelas, dapat ditemukan dalam enam artikel seri khusus ini, tercantum di sebelah kanan layar komputer dan di bawah pada perangkat seluler.

Responden Muslim:

KH Halim Mahfudz
Pimpinan Pondok Pesantren Seblak Jombang dan Ketua Pengurus Wakaf Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.

Inayah Rohmaniyah
Dekan Fakultas Ilmu Islam dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta, Jawa Tengah.

Amin Abdullah
Anggota Dewan Pertimbangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Jakarta.

Responden Kristen:

Tantono Subagyo
Pendeta sekaligus ketua Yayasan Suluh Insan Lestari (program literasi bahasa ibu) dan Yayasan Wijaya Kusuma Pratama (yang menaungi sekolah swasta) di Tangerang Selatan, Banten.

Ferry Mamahit
Dosen Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang, Jawa Timur, dan direktur eksekutif Pusat Kajian Interdisipliner Agama dan Kebudayaan di Semarang, Jawa Tengah.

Farsijana Adeney-Risakotta
Misionaris Gereja Presbiterian (AS), dosen Universitas Kristen Duta Wacana, dan pendiri Yayasan Griya Jati Rasa (koperasi dagang) di Yogyakarta.

Dengan bantuan pelaporan oleh Maria Fennita.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]