“Saya tak sabar untuk melihat pelayanan seperti apa yang akan ia lakukan,” kata teman kami beberapa minggu setelah putri kami, Penny, lahir.

Kata-katanya mengejutkan saya. Penny terdiagnosis dengan sindrom Down saat lahir. Diagnosis tersebut menghilangkan satu rangkaian harapan tentang apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Hal itu tergantikan dengan rangkaian harapan yang berbeda dan lebih suram. Pada masa-masa awal itu, saya tidak membayangkan putri kami akan dapat melakukan “pelayanan” kepada siapa pun.

Fritz Schloss, seorang anggota komunitas L’Arche di Washington, DC, secara rutin memberikan doa kesembuhan kepada jemaat di Gereja Episkopal St. Mary di Arlington, Virginia.
Image: Ryan Donnell

Fritz Schloss, seorang anggota komunitas L’Arche di Washington, DC, secara rutin memberikan doa kesembuhan kepada jemaat di Gereja Episkopal St. Mary di Arlington, Virginia.

Kata-kata teman saya itu memberikan sebuah visi bagi masa depan putri kami yang tak pernah terpikirkan oleh saya. Saya sudah berasumsi bahwa Penny akan mengajari saya kesabaran dan kasih sayang. Saya berasumsi ia mungkin membantu saya melihat diri secara berbeda dan menolong saya memahami kehancuran dan keterbatasan saya sendiri. Saya berasumsi ia akan menghubungkan saya dengan orang-orang lain yang memiliki disabilitas intelektual dan fisik, dan bahwa hubungan ini mungkin membawa saya ke dalam jenis pelayanan yang baru dan membantu saya dalam menemukan karunia-karunia baru.

Namun sampai saat itu, saya tidak mempertimbangkan apakah Tuhan telah memberi karunia kepada Penny untuk melayani dengan caranya sendiri. Saya menduga bahwa saya bukan satu-satunya orang yang memandang Penny dengan cara lama seperti itu. Banyak orang Kristen, jika kita mau jujur, hanya melihat kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan disabilitas. Akan tetapi ketika kita hanya melihat kebutuhan-kebutuhannya, kita kehilangan karunia-karunianya.

Orang-orang dengan disabilitas intelektual lebih jarang menghadiri gereja daripada anggota jemaat pada umumnya. Menurut Erik Carter, seorang profesor pendidikan khusus di Vanderbilt yang mempelajari agama dan disabilitas, 45 persen orang Amerika yang diidentifikasi sebagai penyandang disabilitas berat mengatakan bahwa mereka menghadiri tempat ibadah setiap bulan—dibandingkan dengan 57 persen dari semua orang Amerika.

Carter juga melaporkan bahwa bagi para penyandang disabilitas yang menghadiri kebaktian di gereja, hambatan untuk berpartisipasi secara penuh dan aktif cukup signifikan. Jemaat gereja dengan gangguan kognitif lebih kecil kemungkinannya, satu berbanding tiga, untuk berpartisipasi dalam kegiatan jemaat di luar ibadah.

“Kita membuat asumsi yang terlalu otomatis bahwa disabilitas berarti ketidakmampuan untuk berkontribusi,” tulis Bill Gaventa, direktur lokakarya tahunan yang disebut Summer Institute on Theology and Disability, dalam Journal of Disability and Religion . “Bagaimana jika setiap orang memiliki karunia, tujuan, panggilan, dan vokasi?”

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya
Komunitas L’Arche di Washington, DC, sering berkumpul untuk berbagai acara. Andrew Commisso (di tengah)—sebagai “orang inti,” sebutan bagi penyandang disabilitas intelektual di L’Arche—memperkenalkan teman-temannya, Meredith Gursky dan Matt Ponder.
Image: Ryan Donnell

Komunitas L’Arche di Washington, DC, sering berkumpul untuk berbagai acara. Andrew Commisso (di tengah)—sebagai “orang inti,” sebutan bagi penyandang disabilitas intelektual di L’Arche—memperkenalkan teman-temannya, Meredith Gursky dan Matt Ponder.

Seperti yang dikatakan Gaventa, sebagian besar dari kita tidak hanya ingin menjadi penerima dalam tubuh Kristus—kita juga ingin menjadi pemberi. Kebanyakan penyandang disabilitas juga demikian. Gagasan yang tiba-tiba muncul bahwa putri saya, seperti halnya saya, adalah seorang yang cacat sekaligus berbakat, mendorong saya dengan kuat untuk mengenali kebenaran mendasar tentang dirinya dan orang lain yang memiliki kondisi seperti sindrom Down, autisme, dan keterlambatan perkembangan yang signifikan: Mereka juga telah diperlengkapi oleh Roh Kudus untuk berkontribusi pada pelayanan gereja yang penuh kasih di dunia.

Ya, saya memiliki karunia-karunia untuk ditawarkan kepada para penyandang disabilitas dan keluarganya. Namun saya juga memiliki kebutuhan, kebutuhan yang mungkin dapat dipenuhi melalui mereka.

Imamat tanpa tanda jasa

Putri kami, Penny, sekarang berusia 12 tahun, dan kami mulai dapat menyebutkan pelayanannya kepada orang lain. Pelayanan itu berupa memberi dorongan semangat.

Francene Short memimpin komunitas untuk “terbang” ke lagu Rhapsody in Blue karya George Gershwin.
Image: Ryan Donnell

Francene Short memimpin komunitas untuk “terbang” ke lagu Rhapsody in Blue karya George Gershwin.

Penny berusaha keras untuk memberikan pujian yang tulus dan spesifik. Ketika dia mendengar seseorang yang ia kasihi membutuhkan bantuan, dia secara refleks—bahkan impulsif—menawarkan bantuan. Pada usia empat tahun, ia tahu bahwa kakek saya mengalami patah di tulang pinggulnya dan ia langsung berdoa, terus bertanya tentang kesembuhannya selama berminggu-minggu. Sekarang Penny sudah lebih besar dan dapat menyampaikan kepeduliannya kepada orang-orang secara langsung. Ketika teman saya mengalami patah tulang selangka, ketika sebuah keluarga di lingkungan kami bersiap untuk pindah, ketika ia mengetahui sahabatnya terkena flu, Penny segera menulis di kertas catatan yang mengungkapkan kasih dan perhatiannya.

Baru-baru ini, Penny menerima kartu ulang tahun dari pendeta kami. Lalu ia mengirim sebuah kertas catatan sebagai tanggapannya: “Kata-kata Pak Pendeta membuat saya meneteskan air mata ketika Bapak memberi tahu saya bahwa Tuhan mengasihi saya. Dia juga mengasihimu.” Berapa banyak siswa SMP yang menulis kepada pendeta tentang kasih Tuhan?

Anggota komunitas, yaitu Hazel Pulliam (kiri) dan Tamara Lee-Bush.
Image: Ryan Donnell

Anggota komunitas, yaitu Hazel Pulliam (kiri) dan Tamara Lee-Bush.

Namun mungkin Penny sangat luar biasa dalam inisiatifnya untuk melayani orang lain. Saya menghubungi teman, kolega, dan komunitas daring untuk menilai apakah pengalaman kami tidak biasa. Kami pun dibanjiri dengan begitu banyak tanggapan. Meskipun setiap orang yang menanggapi punya contoh sendiri, tetapi mereka sama-sama menceritakan sebuah kisah tentang imamat tanpa tanda jasa—mengenai tubuh Kristus yang disempurnakan dan dikuatkan dengan menerima pelayanan dari setiap orang yang telah Yesus panggil untuk menjadi murid-Nya.

Article continues below

Contohnya Gregory Riether. Pria berusia 33 tahun ini bernyanyi dalam paduan suara di Friend to Friend Community Church di Ridgewood, New Jersey, di mana hampir semua dari 120 anggota paduan suara di Minggu malam tersebut memiliki disabilitas intelektual. Riether mengidap ensefalitis virus ketika masih kecil, yang mengakibatkan berbagai perubahan neurologis dan tantangan kognitif. Gerejanya “terasa seperti sukacita,” katanya kepada saya. “Saya hanya bisa membandingkannya dengan apa yang bisa dibandingkan dengan kerajaan Allah. Sangat sulit untuk dijelaskan.”

Ketika para anggota jemaat datang di Minggu malam, penatua gereja—seorang pria dengan keterlambatan perkembangan umum, bernama John Kocienda—meminta jemaat untuk mengajukan permohonan doa, yang akan digabungkan ke dalam kumpulan doa jemaat saat kebaktian nanti. Beberapa orang jemaat menulis permintaan doanya pada secarik kertas, sedangkan yang lainnya menyampaikan doa mereka dengan lantang.

“Tidak seperti jemaat lain yang pernah saya datangi, mereka memanjatkan doa yang sangat bijaksana untuk keluarga, teman, dan satu sama lain,” kata Joanne Van Sant, pendeta di gereja tersebut. “Mereka berdoa secara ekstensif untuk hal-hal yang terjadi di dunia—Puerto Rico, Texas. Berita-berita tersebut banyak beredar di rumah-rumah anggota kelompok mereka selama seminggu, dan mereka mengingat semuanya. Mereka melayani masyarakat, dan masyarakat bahkan tidak mengetahuinya.”

Doa tanpa batas

Doa bahkan sering kali muncul sebagai sebuah cara berbeda yang digunakan oleh para penyandang disabilitas intelektual itu untuk melayani orang lain, termasuk orang-orang seperti Lori Galambos.

Ketika ia masih menjadi mahasiswa di Duke Divinity School, Galambos tinggal di Rumah Persahabatan, sebuah komunitas penghuni di Durham, North Carolina, yang mencampurkan mahasiswa pascasarjana dan orang-orang dewasa dengan disabilitas intelektual. Dengan mencontoh komunitas serupa di Western Seminary di Michigan, Rumah Persahabatan terdiri dari empat apartemen, masing-masing menampung tiga mahasiswa dan satu “teman penghuni,” biasanya orang dewasa berusia 20 tahunan penyandang disabilitas intelektual. Para penghuni berjumlah 16 orang itu berkumpul setiap minggu untuk makan bersama, berbagi permohonan doa, dan saling mendoakan.

Article continues below
Nathan Freshwater (kanan), yang mengidap sindrom Down, berkumpul setiap Minggu dengan rekan-rekan serumahnya di Rumah Persahabatan untuk makan bersama, bersekutu, dan berdoa.
Image: Jillian Clark

Nathan Freshwater (kanan), yang mengidap sindrom Down, berkumpul setiap Minggu dengan rekan-rekan serumahnya di Rumah Persahabatan untuk makan bersama, bersekutu, dan berdoa.

“Selalu ada banyak percakapan tentang lajang dan berpacaran karena ada begitu banyak anak muda yang tinggal bersama,” kata Galambos. “Itu adalah tema yang selalu ada dan menjadi sumber kegelisahan yang cukup konstan.”

Pada saat itu, ia merasa sedih karena masih lajang tetapi ia ragu untuk mengungkapkan kesedihannya di depan sekelompok orang. Galambos ingat bahwa Nathan Freshwater, teman serumahnya yang berusia 29 tahun dengan sindrom Down, berdoa dengan lantang tentang pergumulan dirinya sendiri terkait melajang.

Empat jam di utara Durham di Washington, DC, Luke Smith menceritakan kisah serupa. Direktur komunitas L’Arche di sana—tempat pria dan wanita penyandang disabilitas intelektual hidup berdampingan dengan orang dewasa yang normal—berbicara tentang Charles Clark, seorang anggota komunitas berusia 82 tahun yang melayani orang lain melalui doa dan pelayanan. Clark bertubuh tinggi dan berbahu lebar, dengan wajah bulat yang lembut dan mantap di balik kacamata berbingkai hitamnya. Dia mulai menghadiri sebuah gereja lokal dan mengguncang keadaan di sana tujuh tahun yang lalu ketika dia meminta untuk ikut ke retret gereja.

“Gereja sangat tidak yakin bagaimana menanggapinya,” kata Smith. “Charles mengikuti retret tersebut dan orang-orang menyadari bahwa dia bukan hanya pria tua yang setengah-setengah dengan nyanyian dan ucapan aminnya. Suara dia paling keras di gereja dan ia selalu menjadi orang paling terakhir yang pulang dari gereja. Dia adalah suara kenabian di gereja. Dia adalah orang yang akan mendoakanmu dan terus berdoa untukmu.”

Kini Clark menjadi wakil ketua panitia yang merencanakan retret tahun ini. “Saya memberikan banyak saran yang bagus seperti merencanakan menu makanan,” kata Clark, yang mengenakan jas dan dasi untuk wawancara melalui Skype. “Ketika kami di sana, kami berbicara tentang Yesus dan Alkitab serta hal-hal seperti itu.”

Saya bertanya kepadanya bagaimana ia membantu orang lain, dan ia memilih kata-katanya dengan hati-hati: “Saya peduli terhadap orang lain. Kita seharusnya mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Saya berdoa. Saya memberikan rangkulan. Saya menolong ketika orang membutuhkan bantuan.”

Penyambutan terhangat

Apa pun alasan mengapa banyak penyandang disabilitas intelektual sangat berbakat dalam pelayanan doa—mungkin karena mereka tidak terlalu terikat oleh norma-norma sosial, lebih terbiasa untuk mengekspresikan kebutuhannya secara jujur, dan lebih sadar akan kerentanan manusia—mungkin faktor yang sama juga yang membuat mereka sangat berbakat dalam pelayanan penyambutan.

Article continues below

Amber Beery telah menyadari hal itu dan tidak ragu lagi. Dia menghadiri Immanuel Bible Church di Saginaw, Michigan, bersama putranya yang berusia delapan tahun. Perilaku putranya sebagian besar adalah non-verbal karena kelainan genetik langka yang membuat dia mengalami keterlambatan perkembangan umum.

“Dia adalah penyambut yang informal, memberikan rangkulan dan cekikikan kepada orang-orang saat mereka memasuki gedung,” kata Beery. “Dia memberikan persahabatan dengan murah hati, terlepas dari status orang tersebut di dalam gereja atau masyarakat.”

Jeannie Prinsen, seorang anggota jemaat Gereja Bethel di Kingston, Ontario, juga telah melihat hal yang sama. Putranya, Jonathan, berusia 15 tahun dan memiliki spektrum autisme. “Jonathan memperhatikan orang-orang di gereja kami yang mungkin bukan orang yang paling populer atau mungkin dianggap agak aneh atau eksentrik, dan dia mengenal mereka serta memanggil mereka ketika dia melihatnya,” kata Prinsen. “Dia memberi mereka begitu banyak kebahagiaan.”

Dalam Perjanjian Baru, Yakobus menulis, “Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?” (Yak. 2:5). Semua orang muda ini—yang mungkin dianggap “miskin oleh dunia”—melayani orang-orang yang mereka semangati melalui persahabatan mereka. Mereka juga melayani seluruh jemaat saat mereka memberikan kesaksian tentang bagaimana melayani tanpa pilih kasih.

Ketika saya menceritakannya sebagai contoh, surel saya dipenuhi dengan berbagai kisah. Seperti tentang seorang pemuda pembagi buletin yang mengidap sindrom Williams—suatu kondisi yang sering ditandai dengan keramahan yang berlebihan—yang dalam konteks gereja diperlengkapi secara unik untuk melayani sebagai penyambut. Atau contoh tentang Fritz Schloss, yang menumpangkan tangan sebagai tanda memberi berkat kepada setiap jemaat saat mereka berjalan melewati pintu setelah kebaktian. Dan ada juga Hazel Pulliam, yang menyambut setiap orang yang datang menghampiri mimbar untuk menerima Perjamuan Kudus. Beberapa orang mengantre untuk menerima rangkulannya.

Article continues below

Saya bahkan tidak menyertakan di sini kisah-kisah tentang mereka yang melayani dalam peran-peran gerejawi yang lebih terstruktur seperti mengantar dan melayani Perjamuan Kudus, atau melalui pelayanan bersih-bersih dan tugas-tugas lain seperti menyiapkan serta membereskan perlengkapan ibadah.

“Sebaiknya kamu pelan-pelan, Bung.”

Jika pelayanan penguatan, keramahtamahan, dan ibadah adalah mudah untuk kita pahami, karunia rohani yang paling kuat dari pria dan wanita penyandang disabilitas intelektual mungkin akan lebih sulit untuk diartikulasikan atau dikodifikasikan. Di manakah seseorang mengategorikan karunia kehadiran yang sangat kuat?

Hunter Ross, salah satu dari dua direktur tetap di Rumah Persahabatan dan seorang mahasiswa di Duke Divinity School, mengatakan tentang teman sekamarnya yang merupakan penggemar kegiatan fisik, Alex Furiness: “Sungguh suatu hal yang menyembuhkan bagi seorang mahasiswa pascasarjana yang dibesarkan dengan gaya hidup yang berorientasi pada kesuksesan dan kompetisi, untuk pulang ke rumah bertemu seseorang yang hanya ingin menggelitik atau bergulat dan menonton acara olahraga serta tidak peduli dengan hal-hal intelektual yang saya ceritakan.

Quinn Holmquist adalah seorang mahasiswa Duke yang juga tinggal di Rumah Persahabatan, di sebuah apartemen dengan Freshwater, pria pengidap sindrom Down yang berdoa tentang hidup melajang. Holmquist mengakui bahwa dia bergumul dengan kesibukan. Freshwater tersenyum penuh pengertian dan berkata, “Kau selalu memaksakan diri, tetapi saya katakan kepadamu, ‘Sebaiknya kamu pelan-pelan, Bung.’”

Freshwater “telah membangkitkan kreativitas dalam diri kami berdua,” kata Holmquist. “Dia lebih kreatif daripada saya dan lebih berani serta bersedia mengambil risiko.”

Keduanya menciptakan sebuah lagu yang mereka sebut “Lagu Kebangsaan Rumah Persahabatan.” Lagu ini menggambarkan sambutan yang Tuhan berikan kepada mereka semua dan bagaimana mereka saling mengasihi. Bait terakhir dari lagu tersebut merangkum perhatian dan kepedulian satu sama lain di antara orang-orang ini: “Nyanyikanlah lagu, panjatkanlah doa/Menangislah dengan air mata, dan melewati tahun-tahun bersama/Di sini kita adalah keluarga/Aku ada untukmu.”

Lima tahapan penggabungan

Dalam sebagian besar komunitas, sekitar 1 dan 3 persen orang hidup dengan seorang penyandang disabilitas intelektual—angka yang kecil, tetapi cukup signifikan untuk menunjukkan bahwa hampir semua gereja yang mencerminkan populasi umum memiliki setidaknya satu anggota jemaat dengan kondisi seperti ini. Hal ini menghadirkan tantangan yang nyata—dan juga peluang yang nyata—bagi gereja dan organisasi parachurch: Bagaimana mereka memampukan para penyandang disabilitas intelektual untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan gereja lokal sehingga jemaat dapat bertumbuh sebagai murid dan pelayan bersama dengan rekan-rekan mereka yang unik.

Article continues below

Gereja telah menempuh perjalanan panjang dalam beberapa dekade terakhir dalam mengakomodasi semua jenis penyandang disabilitas, menyesuaikan program dan menambah fasilitas seperti jalan landai serta selusur yang memungkinkan para penyandang disabilitas untuk berpartisipasi. Namun tantangannya masih sangat banyak—mulai dari hambatan yang terlihat jelas secara fisik yang masih belum teratasi di banyak gedung, hingga hambatan yang tidak terlalu kelihatan seperti kurangnya transportasi bagi mereka yang tidak dapat menyetir sendiri ke gereja.

Yang pasti, para pemimpin gereja menghadapi tantangan yang terasa sangat nyata ketika budaya yang ada merendahkan para penyandang disabilitas. Seorang pendeta dari sebuah gereja Anglikan Atlantik tengah berkata kepada saya beberapa tahun yang lalu tentang seorang pria dengan disabilitas intelektual dalam jemaatnya. Pendeta ini mengasihinya dan ingin melibatkannya dalam kebaktian, tetapi ia akui bahwa dia juga takut jika permintaan doa pria itu yang bertele-tele dan ucapannya yang terkadang tidak jelas akan menghalangi pengunjung untuk datang kembali.

Kekhawatiran seperti itu dapat dimengerti dan mungkin tak terelakkan. Akan tetapi tanggapan Yesus adalah gambaran dalam kitab Lukas tentang sebuah pesta dalam kerajaan Allah mencakup “orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh.” (14:21)—semua orang, singkatnya, yang biasanya tidak diundang ke perjamuan-perjamuan makan.

Mungkin yang lebih penting lagi daripada hambatan fisik untuk berpartisipasi adalah sikap dan asumsi yang dianut oleh jemaat terhadap penyandang disabilitas intelektual. Dan Vander Plaats adalah direktur pengembangan di Elim Christian Services, sebuah pelayanan di wilayah Chicago yang berfokus pada pemberdayaan para penyandang disabilitas. Ia menjelaskan lima tahapan yang sering dilalui gereja dalam mengintegrasikan komunitas penyandang disabilitas ke dalam kehidupan gereja.

Anggota L’Arche Kelly DeRoy (kiri) bersama sukarelawan, Katie Moore, di komunitas di Washington, DC.
Image: Ryan Donnell

Anggota L’Arche Kelly DeRoy (kiri) bersama sukarelawan, Katie Moore, di komunitas di Washington, DC.

Tahap pertama adalah ketidakpedulian, di mana penyandang disabilitas intelektual tidak hadir atau diabaikan. Tahap ini diikuti oleh rasa kasihan dan kemudian dengan kepedulian. Banyak gereja berhenti pada tahap ketiga ini, dengan keinginan yang tulus untuk memenuhi kebutuhan para penyandang disabilitas intelektual dan kurangnya pengakuan bahwa orang-orang ini memiliki karunia yang berguna—bahwa mereka tidak hanya hadir untuk menerima perhatian. Vander Plaats mengartikulasikan tahap keempat sebagai persahabatan, di mana terbentuknya hubungan yang bermakna. Terakhir, ia menamainya kerja sama, sebuah komitmen ideologis bagi pelayanan bersama, saling menghargai, serta memberi dan menerima yang mencerminkan visi rasul Paulus tentang tubuh Kristus yang berfungsi.

Article continues below

“Kami berusaha keras untuk melihat apa yang membuat para difabel sangat diperlukan bagi perkembangan tubuh Kristus,” Carter, profesor Vanderbilt, memberi tahu saya. “Kami tidak melihat diri kami tidak lengkap tanpa kehadiran dan partisipasi—yaitu karunia-karunia dan persahabatan—para penyandang disabilitas. Dan sampai kami menyadari bahwa perkembangan diri kami pada akhirnya terkait dengan kehadiran dan penghargaan dari setiap orang yang hadir, kami tidak akan membuat gerakan yang berarti untuk menjadi komunitas inklusif dan saling memiliki.”

Paulus mengartikulasikan dengan baik konsep yang luas tentang siapa yang merupakan tubuh Kristus dan siapa yang sejalan dengan fungsinya: “Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggota-anggota yang tidak mulia diberikan penghormatan khusus, supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.” (1Kor. 12:24–27).

Jean Vanier, penulis dan pendiri komunitas L'Arche, menulis dalam bukunya yang berjudul Becoming Human, "Ini bukan hanya soal berbuat baik bagi mereka yang tersisih, tetapi juga bersikap terbuka dan rentan terhadap mereka untuk menerima kehidupan yang dapat mereka tawarkan; ini berarti menjadi teman mereka.... Mereka akan memanggil kita keluar dari individualisme dan kebutuhan kita akan kekuasaan agar dapat saling memiliki dan terbuka kepada orang lain." (Artikel ini awalnya diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 2018, sebelum adanya laporan yang mengungkapkan pelecehan yang dilakukan oleh Vanier.)

Article continues below

Beberapa minggu yang lalu, saya berbicara dengan seorang wanita yang baru saja menerima diagnosis sindrom Down prenatal. Ibu ini sudah memiliki dua anak, dan kehamilan yang tak terduga ini sekarang menjadi menakutkan baginya. Pada satu titik dalam percakapan kami, dia berkata, “Semua orang mengatakan bahwa anak-anak dengan sindrom Down adalah karunia dan bahwa mereka mengajari kita untuk bersabar dan berbelas kasih.”

Saya ingat pernah merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan—keengganan untuk mengizinkan putri kami mengajari saya hal-hal yang sebenarnya tidak ingin saya pelajari. Saya menduga beberapa lembaga gereja memiliki sikap yang sama terhadap penyandang disabilitas intelektual yang ada di tengah-tengah mereka. Dua belas tahun kemudian, saya merasa jauh lebih bersemangat untuk menerima apa pun yang diberikan Penny. Ya, dia telah mengajari saya kesabaran dan kebaikan. Namun dia telah memberi saya lebih dari sekadar pelajaran hidup yang positif. Dalam ketekunannya, dalam kasihnya kepada orang lain, dalam kesiapannya untuk memaafkan—Penny adalah panutan bagi saya.

Putri saya tidak hanya mengajari dengan apa yang dia minta untuk saya berikan kepadanya. Dia mengajari saya dengan apa yang dia berikan kepada saya. Dia mengajari saya mengenai siapa dirinya, bukan hanya dengan apa yang dia katakan kepada saya. Hal yang sama berlaku juga untuk setiap orang dengan disabilitas intelektual yang rindu untuk disambut dan dilayani, yang rindu untuk menjadi bagian dari tubuh Kristus.

Amy Julia Becker adalah penulis White Picket Fences: Turning Toward Love in a World Divided by Privilege (NavPress, 2018). Dia tinggal di Connecticut bagian barat bersama suami dan ketiga anaknya.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]