Ketika berusia 15 tahun, saya sangat ingin tampil riil. Dahulu, sebagian besar dari kami melakukannya: Saat itu tahun 1996, dan kami masih percaya pada gaya grunge. Kami mengenakan kemeja flanel dan pakaian merek Doc Martens, dan kami menolak segala yang berbau "berusaha terlalu keras," karena "berusaha" tidaklah otentik. Menurut kami, norma sosial itu membosankan dan palsu, dan setiap orang seharusnya menjadi diri sendiri daripada berusaha menjadi seperti orang lain. Dalam pencarian jati diri saya untuk tampil riil, saya menjauhkan diri dari riasan, mode, dan musik pop. Ketika saya turun ke lantai bawah di pagi hari untuk pergi ke sekolah, tanpa riasan wajah, berpenampilan sederhana, dan rambut saya yang masih dikepang dari malam sebelumnya, maka saudara perempuan saya, yang ingin menjadi milenial yang sukses, akan mengangkat alisnya dan berkata, “Kamu tidak akan berpenampilan seperti itu ke sekolah, kan?”

Yang lebih sulit adalah mencari tahu bagaimana menjadi seorang Kristen yang otentik. Dalam kelompok kaum muda gereja saya, tidak ada seorangpun dari kami yang ingin menjadi orang munafik dengan cara apa pun, terutama dalam hal iman. Kami cerdas dan skeptis, berpikiran independen, anti-konsumerisme, jujur pada diri kami yang sendiri. Yang membuat iman kami nyata adalah bahwa kami telah memilihnya sendiri, dan hal itu berasal dari pengalaman pribadi yang mendalam. Kami tidak sedang berpura-pura.

Tetapi sepertinya banyak juga dari kita yang berpura-pura.

Dewasa ini, alih-alih menghargai apa yang kita sebut keotentikan, kita malah lebih menghargai topeng-topeng dan kostum, ritual-ritual, peragaan akan kemewahan dan perayaan, yang oleh teolog Kevin Vanhoozer disebut sebagai “drama doktrin”. Jika kita berharap ekspresi spiritual yang spontan dan otentik terjadi pada titik-titik tertentu dalam hidup kita, itu hanya akan terjadi ketika kita memilih hal-hal yang penuh kasih dan kebenaran secara terus-menerus, dengan menumbuhkan kebiasaan untuk berbuat kebajikan sehingga hal tersebut menjadi natural, atau menjadi natur kedua. Kemudian, seperti yang dikatakan Plato, topeng, jika dipakai cukup lama, bisa menjadi wajah. Atau seperti yang biasa dikatakan oleh nenek saya, jika Anda terus menampilkan wajah yang seperti demikian, maka wajahmu bisa terus-menerus seperti itu.

Vanhoozer mengatakan bahwa kita harus memahami apa artinya menjadi seseorang yang berbeda dari yang dipahami oleh para pemikir modern seperti Descartes. Ketika Descartes berkata, “Saya berpikir, oleh karena itu saya ada,” dia menyiratkan bahwa menjadi manusia sebagian besar adalah tentang memiliki otak—memiliki pikiran yang mandiri, terpisah dari tubuh, yang keberadaannya bergantung pada akal. Akan tetapi, Vanhoozer berpendapat bahwa menjadi manusia berarti menjadi pribadi yang berkomunikasi dengan orang lain. Saya adalah “agen komunikatif” yang dipanggil oleh Tuhan, pribadi “yang dapat memasuki hubungan dialogis.” Keberadaan diri saya didasarkan pada penciptaan dan panggilan ilahi, namun juga berada di dalam dan dibangun melalui percakapan-percakapan saya dengan orang lain. Identitas saya bergantung pada bagaimana saya berespons terhadap “panggilan ilahi," bagaimana saya mewujudkan peran yang telah diberikan kepada saya, dan bagaimana saya terlibat dengan orang-orang di sekitar saya.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Saya percaya saya dipanggil untuk secara aktif menghidupi identitas saya yang sebenarnya. Tidak ada yang palsu ketika memikul peran ini—menyesuaikan dengan kostumnya, mempelajari dialognya, melafalkannya, atau mengimprovisasikannya. Sebaliknya, kesempatan terbaik saya untuk menampilkan keotentikan, lahir dari penerimaan akan peran tersebut. Bagian panggilan yang perlu saya perankan adalah sebagai seorang murid, dan seperti metode yang dilakukan oleh seorang aktor, saya harus menjalani peran itu sebaik mungkin. Saya tidak berharap akan muncul respons yang tepat secara spontan—saya harus berlatih dan menghafal sampai kalimat-kalimat tersebut menjadi familier bagi saya sehingga saya dapat mengatakannya tanpa perlu berpikir.

Bagaimana kita mempelajari bagian kita? Kita mempelajari Kitab Suci, membiarkan pikiran kita dibentuk oleh realitas eskatologis yang diajarkannya sehingga kita belajar untuk melihat diri kita sendiri dan dunia kita dengan benar. Kita belajar untuk melihat bagaimana kita dapat masuk dan sesuai dengan drama penebusan. Doktrin melepaskan kita dari topeng-topeng palsu yang kita pertahankan dengan begitu banyak waktu dan upaya, sehingga memungkinkan kita untuk melihat diri kita sendiri benar-benar sebagai orang yang dipanggil, dikenal, dan dikasihi oleh Tuhan. Kristus ada di dalam kita, dan semakin kita merangkul identitas itu, semakin dekat kita untuk menjalani hidup secara otentik.

Jadi sebenarnya bukan keotentikan yang saya lawan. Yang dapat mengubah keotentikan, dari kebajikan yang belum dewasa menjadi yang dewasa, adalah dengan memahami bahwa menjadi otentik bukanlah seperti membuka sumbatan sumber batin individualitas dan memuntahkan emosi dari sana; menjadi otentik adalah dengan berlatih memainkan peran murid yang telah diberikan kepada saya dalam drama Tuhan sampai saya menghidupi peran itu sepenuhnya. Saya akan menghidupinya secara berbeda dari orang lain, tetapi saya tidak berusaha menjadi unik; Saya berusaha untuk menjadi serupa (Kristus). Ketika saya menjadi serupa dengan gambar Kristus, saya lebih menjadi diri saya sendiri dibanding jika saya melakukan yang sebaliknya.

Article continues below

Diambil dari Where Goodness Still Grows: Reclaiming Virtue in a Age of Hypocrisy _oleh Amy Peterson. Hak Cipta © 2020 oleh Amy Peterson. Digunakan atas izin Thomas Nelson. www.thomasnelson.com _

Diterjemahkan oleh: Lius Jayasaputra

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]

Where Goodness Still Grows: Reclaiming Virtue in an Age of Hypocrisy
Where Goodness Still Grows: Reclaiming Virtue in an Age of Hypocrisy
Thomas Nelson
2020-01-21
224 pp., 9.63
Buy Where Goodness Still Grows: Reclaiming Virtue in an Age of Hypocrisy from Amazon