Mayoritas remaja Amerika masih mengikuti jejak orang tua mereka dalam hal agama. Tren tersebut berlaku, baik dalam keluarga yang religius atau tidak-tetapi ini adalah kabar baik terutama bagi kaum Protestan Injili, yang paling peduli tentang anak-anak mereka agar memiliki iman yang sama.

Remaja Injili, seperti orang tua mereka, tampil menonjol sebagai kaum yang paling percaya diri dan aktif dalam iman jika dibandingkan dengan teman-teman sebaya mereka, menurut laporan terbaru dari Pew Research Center tentang praktik-praktik keagamaan dari anak usia 13-17 tahun.

Komposisi religiusitas remaja saat ini sebagian besar menyerupai populasinya secara keseluruhan. Sekitar sepertiganya adalah “kalangan nones” (yang mengidentifikasi diri sebagai bukan siapa-siapa khususnya dalam hal agama, ateis, atau agnostik). Ini merupakan kategori terbesar. Kemudian, sekitar seperempatnya mengidentifikasikan diri beragama Katolik dan 21 persen adalah Injili.

Bahkan sebagai remaja, lebih dari separuh kaum Injili yang disurvei mengatakan bahwa mereka menghadiri gereja setidaknya setiap minggu (64%), berdoa setidaknya setiap hari (51%), dan tergabung dalam persekutuan kaum muda (64%), dibandingkan dengan minoritas responden remaja dari kalangan Kristen lainnya. (Data ini bukan hanya karena tekanan dari orang tua. Dalam survei tersebut, dua pertiga remaja Injili mengatakan bahwa mereka menghadiri gereja karena mereka ingin pergi ke gereja, bukan untuk menyenangkan ibu dan ayah.)

Keluarga berperan besar dalam kehidupan devosional kaum muda Injili. Sebagian besar mengatakan bahwa mereka menikmati kegiatan keagamaan bersama keluarga mereka (88%), dengan 55% membaca Alkitab bersama, 80% berdoa saat makan bersama keluarga, dan 88% berbicara tentang agama, ungkap Pew Research.

Praktik-praktik ini sesuai dengan keyakinan yang lebih besar dalam kepercayaan agama mereka. Sementara hampir semua remaja yang menganut tradisi Kristen mengatakan bahwa mereka percaya kepada Tuhan, 71% remaja Injili mengatakan bahwa mereka “benar-benar mantap” dengan keyakinan mereka, dibandingkan dengan aliran utama kekristenan lainnya yang kurang dari setengah (49%) dan remaja Katolik (45%). Remaja Injili juga satu-satunya kelompok di antara kalangan remaja yang setuju bahwa hanya ada satu agama yang benar.

Tetapi tidak semua keluarga berada pada jejak langkah rohani yang sama ketika anak-anak mulai masuk usia remaja. Dua belas persen remaja dengan orang tua Injili tidak beragama. Secara keseluruhan, sekitar setengah dari remaja masa kini mengatakan bahwa setidaknya beberapa keyakinan mereka berbeda dari orang tua mereka, meskipun masih dalam aliran yang sama. Cara paling umum remaja memandang keyakinan mereka ketika membandingkannya dengan keyakinan ayah dan ibu mereka, ada kaitannya dengan tingkat kepastian: 14 persen remaja mengatakan bahwa mereka memiliki lebih banyak pertanyaan atau lebih tidak yakin.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Menurut Pew Research, dua pertiga remaja yang tidak memiliki keyakinan yang “sepenuhnya sama” seperti orang tua mereka berkata bahwa keluarga mereka tahu tentang perbedaan tersebut, sementara sepertiga lainnya mengatakan tidak. Remaja yang sedang membentuk pandangan dan pendekatan religius mereka sendiri seiring mereka beranjak dewasa bisa cukup membingungkan bagi anggota keluarga lainnya. Pew Research menemukan bahwa orang tua yang salah menilai keyakinan anak-anak mereka cenderung melebih-lebihkan tentang betapa pentingnya iman bagi mereka pribadi.

Ini juga bisa menjadi topik yang sensitif untuk dibahas oleh orang tua dengan anak remaja mereka. Sekitar tujuh dari sepuluh orang tua Injili menganggap “sangat penting” untuk membesarkan anak-anak dalam iman mereka. Mereka lebih memprioritaskan hal ini ketimbang aliran Kristen lainnya—setengah dari kaum Protestan mengatakan hal yang sama. Tetapi sebanyak apapun mereka memberi teladan iman, mengelilingi anak-anak mereka dengan komunitas Kristen, dan berdoa bagi keselamatan anak-anak mereka, para orang tua Injili ini juga sadar bahwa putra putri mereka—dengan anugerah Allah dan kuasa Roh Kudus—pada akhirnya harus belajar untuk memahami Injil itu secara pribadi.

CT bertanya kepada orang tua dari para remaja tentang seberapa pentingnya keyakinan anak remaja mereka agar selaras dengan keyakinan mereka dan bagaimana mereka melakukan pendekatan terhadap iman anak-anak mereka pada tahap ini. Berikut tanggapan mereka:

Dorena Williamson, pembicara, penulis, dan salah satu pendiri Strong Tower Bible Church di Nashville:

Saya mendekati iman anak-anak saya dengan pemahaman bahwa tidak mudah tumbuh bersama orang tua yang terpanggil untuk melayani di gereja. Saya juga seorang anak pendeta dan paham bahwa otentisitas adalah kuncinya. Saya mencari cara untuk mendorong iman mereka dalam suasana yang ada di rumah. Saya selalu mendoakan mereka, mencari tahu musik yang mereka sukai, dan membangun percakapan tentang masalah terkini yang penting bagi mereka. Mudah-mudahan, hal ini dapat menunjukkan bahwa saya peduli dengan minat mereka. Saya tidak berharap perjalanan iman anak-anak saya mencerminkan perjalanan iman saya. Masa-masa ini memiliki berbagai tantangan dan kesempatan baru, dan mereka memiliki jalannya sendiri untuk ditempuh. Pada tahap kehidupan rohani mereka ini, saya berdoa agar mereka dapat mengasihi Tuhan dan sesama dengan sepenuh hati mereka. Saya tahu hal itu menyenangkan hati Tuhan dan merupakan warisan yang akan terus bertahan.

Article continues below

Beth Felker Jones, profesor teologi di Wheaton College:

Doa terbesar bagi anak-anak saya adalah agar mereka mengasihi Yesus dan menyerahkan hidup mereka kepada-Nya. Saya percaya ini bukanlah sesuatu yang bisa saya kontrol, karena hal ini adalah anugerah, namun saya mendoakannya dan mencoba mengusahakannya dengan cara berbicara dengan mereka tentang iman dan memastikan bahwa mereka memiliki komunitas orang Kristen dewasa yang kuat di dalam hidup mereka. Saya berharap anak remaja saya datang ke gereja dan ke persekutuan remaja, berdoa bersama keluarga, membaca Kitab Suci. Saya berharap mereka dapat berbicara bebas dengan saya dan ayah mereka tentang pertanyaan-pertanyaan iman.

Saya tidak berpikir orang tua dapat mengubah anak-anak menjadi klon kami, dan ketika menyangkut hal-hal yang tidak penting, saya mencoba untuk tidak terlalu mempermasalahkan bilamana mereka tidak sepenuhnya sependapat dengan saya. Jika mereka menjadi orang dewasa yang hidup bersama dan bagi Yesus, maka doa-doa saya telah terkabul, dan saya akan melakukan yang terbaik untuk tidak meributkan apakah mereka pergi ke gereja yang berbeda dengan saya atau memiliki kepercayaan yang berbeda tentang apa arti baptisan. Dan hal ini adalah sesuatu yang saya coba komunikasikan langsung kepada anak remaja saya: Saya tidak berharap membuat mereka seperti saya. Saya ingin mereka akan mencintai Yesus dan menjadi seperti Dia.

John Starke, pendeta utama di Apostles Church Uptown di New York:

Seringkali saat kita berbicara tentang menginginkan anak-anak kita untuk menyelaraskan kepercayaan mereka dengan kepercayaan kita, hal itu sesungguhnya merupakan semacam bentuk kultural dari kepercayaan, namun bukan iman yang alkitabiah, dan ini cenderung menjadi iman yang tertutup, bukan iman yang berdasarkan pemahaman. Pada saat yang sama, kita percaya adanya surga dan neraka, bahwa Tuhan menginginkan pertobatan, dan bahwa budaya masa kini menggoda kita agar tidak percaya dan memberontak pada Tuhan. Harapan saya adalah mereka memperoleh belas kasihan dan mengalami anugerah melalui iman.

Article continues below

Kami ingin mereka memahami iman kami, mengenali kepalsuan kulturalnya, tetapi juga merasakan kebebasan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit sambil "mencoba memakai iman" tersebut saat mereka beranjak dewasa. Saya ingin anak-anak saya merasa bahwa mereka juga memiliki iman yang sama, karena hal itu mungkin akan membuat mereka merasa paling aman sebagai individu seiring mereka beranjak dewasa dan menumbuhkan identitas diri mereka sendiri yang terpisah dari kami dan ketika mereka mulai tumbuh dan membentuk iman mereka sendiri di dalam Kristus.

Jen Michel, penulis Surprised by Paradox, Keeping Place, dan Teach Us to Want:

Kami ingin memberi anak-anak kami formasi rohani Kristen yang terbaik di rumah kami, dan tentu saja kami melakukannya dengan tidak sempurna. Tetapi ketika anak-anak kami kini satu per satu meninggalkan rumah, kami menyadari bahwa iman yang mereka bawa haruslah milik mereka sendiri, bukan milik kami.

Saya baru saja menulis surat kelulusan yang sangat terlambat untuk putra saya yang berusia 17 tahun (mendekati usia 18 tahun). Dia tidak mau menyebut dirinya sebagai seorang Kristen, dan itu sangat sulit. Saya ingin dia mengenal realitas Yesus, tetapi saya juga sepenuhnya sadar bahwa dia membutuhkan lebih dari sekedar iman yang diwariskan. Sebaliknya, putri kami, yang saat ini kuliah di tingkat dua, hidup di dalam Yesus dan terlibat pelayanan di kampusnya. Itu merupakan kegembiraan yang luar biasa, dan kami bersyukur kepada Tuhan atas hal ini.

Melissa Cain Travis, asisten profesor bidang apologetika di Houston Baptist University:

Saya menganggapnya sebagai suatu tanda yang sangat positif ketika putra remaja saya berdebat secara teologis dengan saya. Hal ini berarti mereka sedang berpikir secara kritis dan mendalam tentang doktrin kekristenan! Ini jauh lebih baik daripada ketidaktertarikan, dan hal ini memicu percakapan yang kaya (dan terkadang sangat panjang) di mana saya dapat menunjukkan rasa hormat secara intelektual kepada mereka sambil menawarkan bimbingan yang lembut.

Saya mencoba untuk mengembangkan etos kekristenan asali dalam diskusi kami, namun menjelaskan bahwa isu seputar teologis sekunder tetap perlu dipertimbangkan dengan cermat. Saya benar-benar senang ketika putra-putra saya membahas tentang hal-hal yang tidak terlampau penting dan mereka sampai pada kesimpulan yang berbeda namun telah dipikirkan dengan matang. Dalam hal tersebut, saya hanya memastikan bahwa mereka memahami kegunaan dari perspektif saya.

Article continues below

Kara Powell, direktur eksekutif Fuller Youth Institute:

Hubungan anak-anak saya dengan Yesus merupakan hal yang sangat penting bagi saya. Sebagai ibu dari anak berusia 19, 17, dan 14 tahun, ada banyak hari di mana saya berdoa lebih banyak untuk iman mereka ketimbang hal lainnya. Sejujurnya, sebagian diri saya sebenarnya menginginkan anak-anak saya mempercayai seperti saya dan beribadah seperti saya (dan punya pilihan politik seperti saya, makan seperti saya; daftarnya bisa terus berlanjut). Tetapi ketika saya mengupas lebih dalam, sebenarnya yang saya rindukan adalah agar mereka tahu bahwa Yesus mengasihi mereka dan mereka mau mengasihi-Nya juga. Saya ingin mereka tahu bahwa Yesus menawarkan jawaban terbaik untuk pertanyaan mereka tentang identitas, kepemilikan, dan tujuan.

Saat anak-anak kita memiliki iman secara pribadi, cara mereka mengalami kasih Tuhan, dan mengungkapkan kasih mereka sebagai balasannya, sudah terlihat berbeda dari saya. Berdasarkan penelitian untuk buku kami Growing With, saya mencoba mengajukan dua pertanyaan kepada setiap anak saya: “Apa yang tidak kamu yakini lagi namun yang menurutmu masih saya yakini?” Dan, “Apa yang kini kamu yakini, namun yang menurutmu tidak saya yakini?” Saya ingin kami dapat mendiskusikan apa saja tentang Yesus dan iman, terutama ketika kami tidak sepakat. Dengan kedua putri kami yang masih sekolah menengah atas … mereka lebih progresif dalam beberapa isu budaya dan bahkan terlihat lebih bersemangat tentang keadilan. Ketika perbedaan itu muncul dalam diskusi kami, saya dengan sengaja menyarankan, “Ketika kalian lebih dewasa nanti, ada baiknya kalian mencari gereja yang mencerminkan apa yang kalian yakini.” Pada akhirnya, saya ingin anak-anak saya mencintai gereja Tuhan, bukan gereja saya.

Amy Whitfield, pembawa acara SBC This Week dan wakil presiden asosiasi dengan Komite Eksekutif SBC:

Iman kita bersama di dalam Kristus, bersama dengan keterlibatan di gereja lokal, sangatlah penting dalam kehidupan keluarga kita. Saat remaja kita beranjak dewasa, pemuridan jelas merupakan bagian dari pengasuhan kita, tetapi peran iman dalam hubungan kita berubah. Ketika mereka masih muda, kami mengambil peran kepemimpinan yang sangat proaktif. Kami berdiri di depan dan secara sistematis mengarahkan mereka pada kebenaran Injil. Sekarang, saat mereka bertumbuh secara rohani, kami mulai berjalan bersama mereka sebagai kakak pembimbing di dalam Kristus, mendorong mereka untuk belajar Alkitab secara pribadi dan membantu mereka memahami dan menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Diterjemahkan oleh: Timothy Daun

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]