Dalam perjalanan pulang dari dokter onkologi, saya dan anak saya, Clara, biasanya berkendara dalam diam sambil mendengarkan lagu Audrey Assad atau Sara Groves. Kadang-kadang, saya mengulurkan tangan saya dan memegang tangannya saat dia duduk di kursi penguatnya. Di tahun ia mengalami kanker, dalam kasih karunia Tuhan, kedua artis tersebut mengeluarkan album yang memberikan kesejukan pada hati kami yang penuh beban.

Pada suatu hari pertemuan yang panjang dengan dokter, kami berdua kelelahan. Clara mengalami kebotakan dan mual akibat kemoterapi. Saya kelelahan karena menjadi "gelandang" medis dan berusaha tetap bersikap optimis, tersenyum meyakinkan gadis kecil saya saat perawat memberikan obat.

Seiring kami berkendara di jalan raya, lagu Assad berjudul “Restless” diputar, bagian refrainnya mengulangi baris kalimat dari Confessions karya Agustinus.

Aku gelisah, aku gelisah Sampai aku beristirahat di dalam-Mu, sampai aku beristirahat di dalam-Mu Oh Tuhan, aku ingin beristirahat di dalam Engkau

Lalu saya mendengar suara pelan anak saya yang berusia enam tahun dari kursi belakang. “Ma?” “Ya?” Dia menarik napas dalam-dalam. “Apakah dosa jika merasa gelisah?”

Saya terdiam. Benarkah? Saya tidak tahu. Naluri keibuan saya muncul, dan saya menyadari bahwa dia perlu tahu bahwa tidak apa-apa merasakan badai di musim kehidupan kita.

“Tidak, sayang. Tuhan tahu bahwa terkadang itu sulit.” Dia menghela napas dan menatap ke luar jendela, bernyanyi pelan mengikuti irama lagu.

Sudah 11 tahun sejak hari itu, tetapi pertanyaan dia masih menghantui saya. Apakah dosa jika merasa gelisah?

Hati yang gelisah dapat menulahi situasi apa pun, bahkan situasi yang tidak se-ekstrem kanker di masa kanak-kanak. Keseimbangan emosional kita rapuh. Kita menjadi mudah sekali tergelincir ke dalam rasa frustrasi dan kegelisahan ketika mendengar jeritan anak kecil, mobil mogok, krisis pekerjaan, atau pertengkaran dengan orang yang kita kasihi.

Dalam Alkitab, kata 'istirahat' (shabbat; berhenti, istirahat), pertama kali muncul pada hari ketujuh dari penciptaan. Namun bukan hanya dalam kitab Kejadian saja kata ini muncul sebagai puncak dari kisah penciptaan. Mitologi dari bangsa-bangsa sekitar Israel (seperti Sumeria, Levant, Babel, dan Mesir) juga menggunakan kata 'istirahat' dengan cara yang sama.

Misalnya, mitos Babel Enuma Elish menggambarkan dewa Marduk membunuh dewa-dewa lain dan kemudian menciptakan bumi, langit, dan umat manusia dari sisa-sisa mereka. Setelah Marduk menyelesaikan ciptaannya, dewa-dewa lain memberitahunya, “Mari kita dirikan sebuah kuil sebagai dasar, di mana kita dapat beristirahat ketika kita menyelesaikan [pekerjaan].”

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Saya tidak membandingkan mitos-mitos ini dengan kitab Kejadian untuk melemahkan inspirasi ilahinya; Saya percaya Alkitab adalah kebenaran. Namun kita dapat melihat konteks sastranya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih kaya tentang apa maknanya ketika pertama kali dicatat. Gaya penulisan yang indah dalam Kejadian 1 ditulis menggunakan genre yang sekarang sudah tidak lagi digunakan dan rata-rata orang Timur Dekat zaman dahulu dapat memprosesnya secara teologis. Makna 'istirahat' dalam kisah-kisah ini seperti “Kesimpulan” di akhir makalah. Jika cerita tersebut menyatakan bahwa Allah sedang beristirahat, itu menandakan bahwa cerita tersebut akan berakhir. Telah ada resolusi.

Jadi apa maksudnya ketika Tuhan beristirahat dalam kitab Kejadian? Saya dulu membayangkan tidur siang yang panjang atau menghela napas seraya Tuhan menjatuhkan diri ke kursi malas. Pemahaman saya dulu sangat melenceng. Arti kata ini sebenarnya berarti—seperti yang dipahami oleh pembaca asli kitab ini—bahwa Allah berhenti mencipta dan memulai pemerintahan-Nya.

Dalam kisah penciptaan, istirahat paling baik dipahami sebagai penobatan. Ini seperti seorang raja yang duduk untuk memerintah negaranya atau seorang kapten Star Trek yang duduk di kursi komando sambil berkata, “Maju.” Dalam kisah-kisah penciptaan di Timur Dekat kuno, pekerjaan dihentikan agar sang dewa dapat menjalankan kekuasaannya sebagai raja.

Image: Photograph by Lewis Khan

Dalam literatur penciptaan, penobatan hanya terjadi setelah dunia mencapai homeostatis dan keteraturan yang sempurna. Kita memiliki konsep serupa ketika melakukan transisi yang signifikan. Misalnya, apa yang perlu dilakukan sebelum terjadi perubahan pekerjaan yang substansial? Apakah Anda perlu menata meja kerja Anda? Apakah keuangan Anda sudah teratur dan rencana perawatan kesehatan Anda sudah siap? Apakah Anda sudah menyelesaikan modul-modul pelatihan secara daring itu? Setelah tugas-tugas penting tersebut selesai, ketika Anda akhirnya duduk di meja kerja dan siap untuk mengambil peran baru serta menjalankannya—itulah arti istirahat di awal Kejadian 2.

Atau bagaimana setelah pindah rumah? Perjanjian jual beli atau sewa yang ditandatangani bukan berarti sudah waktunya untuk istirahat. Anda masih perlu membereskan perabotan, menemukan garpu yang sulit ditemukan, menyiapkan tempat tidur, mencari kotak berlabel “seprai,” dan sebagainya. Ketika semua hal tersebut sudah beres, ketika Anda dapat menghela napas dan mulai mengelola di rumah Anda—itulah istirahat.

Article continues below

Sekarang terapkan konsep itu kepada Allah dalam penciptaan. Dalam enam hari, Dia mengatur semuanya dengan tepat, dan semuanya berjalan dengan baik. Dia beristirahat. Ketika Allah beristirahat, manusia dapat percaya bahwa segalanya akan berjalan dengan baik dan Allah sedang memerintah. Tuhan ada di meja kerja-Nya; Dia sudah menata rumah-Nya.

Bagaimana Allah menyediakan homeostatis kosmis dan duniawi? Inilah pertanyaan yang ingin dijawab oleh literatur penciptaan. Untuk mempelajari tentang bagaimana dunia bekerja dan siapa dewa-dewa mereka, masyarakat Timur Dekat kuno memperhatikan hal-hal yang diperlukan agar istirahat (penobatan dan pemerintahan) dapat berlangsung.

Jika Anda telah membaca beberapa catatan kisah penciptaan ini, Anda akan melihat bahwa umat manusia pada umumnya mempunyai salah satu dari dua peran. Entah mereka mendapat kehormatan untuk melayani dan menyediakan kebutuhan rumah para dewa, atau mereka diberi tanggung jawab menjaga ketertiban (status quo) di antara manusia.

Namun, dalam kitab Kejadian, Allah menetapkan hubungan yang unik antara umat manusia dan diri-Nya sendiri. Pertama, kemanusiaan diberi nilai yang tinggi. Laki-laki dan perempuan diciptakan bersama, menurut gambar Allah (frasa yang biasanya digunakan untuk menyebut para dewa yang menciptakan dewa-dewa lain), dan dinyatakan “sangat baik.”

Tidak hanya itu saja, manusia juga diciptakan setelah semua yang mereka perlukan sudah tersedia. Mereka tiba di tempat dengan ekosistem yang sudah terbentuk sepenuhnya, berkembang, dan indah. Ibarat menyiapkan meja untuk para tamu, Tuhan menciptakan umat manusia setelah segala sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan sudah tersedia.

Tuhan tidak mewajibkan umat manusia untuk menyediakannya bagi Dia. Bahkan, Dia sama sekali tidak membutuhkan apa pun dari kita. Istirahat-Nya terjadi pada hari ketujuh setelah Dia secara eksplisit dan aktif menciptakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, sebuah kontras yang sangat mencolok dengan kisah-kisah lain di mana para dewa beristirahat ketika manusia ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kitab Kejadian membalikkan ekspektasi masyarakat Timur Dekat kuno tentang hubungan antara Allah dan manusia. Ketika mendengar tentang tatanan yang diciptakan dalam kitab Kejadian, mungkin saja hal ini mengejutkan bangsa-bangsa sekitar Israel, dan hal ini masih membuat saya takjub setelah empat tahun mempelajarinya.

Article continues below

Kutipan terkenal dari Agustinus, “Engkau telah menciptakan kami bagi diri-Mu sendiri, dan hati kami gelisah sebelum beristirahat di dalam Engkau,” memiliki dimensi baru sehubungan dengan hal ini. Bagi seorang Kristen, istirahat harusnya lebih dari sekadar mengakui Tuhan duduk di atas takhta-Nya. Peristirahatan ditemukan ketika kita menyelaraskan hati kita yang gelisah dengan pribadi Tuhan saat Dia memerintah.

Yesus menyinggung suatu pola pikir istirahat setiap hari saat Ia berbicara tentang bunga bakung dan burung sebagai contoh dari penilaian dan pemeliharaan Tuhan bagi umat manusia dalam Matius 6. Ia mengingatkan para murid-Nya untuk melihat keindahan bunga bakung dan mengarahkan perhatian mereka kepada burung. Jika Tuhan sangat peduli dengan ciptaan-Nya yang “baik,” betapa lebih lagi Dia akan peduli dengan ciptaan-Nya yang “sungguh amat baik”—manusia?

Image: Photograph by Lewis Khan

Namun satu kali kunjungan ke dokter dapat membuat kita berlutut (merasa kalah), dan bukan hanya dalam doa. Lalu bagaimana kita bisa memperoleh peristirahatan? Bagaimana dengan ketika umpan berita (feed) media sosial kita dipenuhi dengan berita penembakan di sekolah yang mengerikan, politik yang membuat kita gelisah, dan pelecehan yang meluas di gereja-gereja? Bagaimana kita dapat menikmati istirahat tersebut ketika atasan kita membuat tuntutan yang tidak masuk akal dan anak-anak kita kehilangan akal sehat karena roti lapis yang dipotong secara tidak benar?

Bagi saya pribadi, saya menemukan batas emosional dan spiritual saya di lorong rumah sakit pada suatu malam bersalju. Di tengah malam terburuk saya selama Clara dirawat di rumah sakit, sebuah kode panggilan terdengar dari sebuah ruangan di ujung lorong. Perawat dan dokter dengan senyap berlari ke kamar tersebut dan, dengan ketenangan profesional, menyelamatkan nyawa seorang anak. Saya berjalan menyusuri lorong sambil membawa kesedihan yang mendalam atas penderitaan yang menimpa anak-anak manis yang sedang berjuang melawan kanker.

Saya melihat ke luar jendela besar di ujung bangsal onkologi dan menyaksikan roda-roda bus berputar sia-sia di atas timbunan salju. Para penumpang keluar untuk mendorong bemper belakang sambil bus bergoyang-goyang, lalu tersentak saat ban melontarkan salju berlumpur ke wajah mereka. Upaya mereka tampak sia-sia.

Trauma beberapa bulan terakhir ini telah mengeraskan hati saya, tetapi rentetan kejadian itu membuat hati saya kembali mentah. Saya melampiaskan kemarahan kepada Tuhan Yang Maha Tahu. Dengan tangan terkepal, saya melontarkan tuduhan sambil menangis. Apakah Dia telah memberikan kebebasan pada sel-sel kanker untuk menghancurkan tubuh anak-anak di bangsal onkologi itu? Alih-alih melihat jejak sepatu Tuhan di atas tanah, saya hanya melihat manusia dengan sepatu ortopedi sambil membawa kantong infus berisi obat yang tidak sempurna. Saya merasa kami sendirian, dan saya putus asa.

Article continues below

Pada saat kemarahan itu, hati saya gelisah. Saya hampir saja menyatakan bahwa tujuan saya untuk anak saya lebih baik daripada tujuan Tuhan, saya meminta-Nya turun takhta. Saya pikir semua fakta menunjukkan bahwa Tuhan tidak memikirkan kepentingan terbaik bagi putri saya. Saya adalah Hawa di taman itu yang menatap pohon buah: Pemikiran saya mengenai benar dan salah adalah yang terbaik. Seandainya saya mampu, saya akan melampaui kehendak Tuhan dan mengambil tindakan sendiri. Namun sebaliknya, malam itu, sambil menyaksikan salju turun dan roda berputar-putar, saya membiarkan sel-sel yang rusak dalam tubuh seorang anak, yang merupakan bagian dari ciptaan yang mengerang, untuk memberi saya pelajaran teologis.

Dalam belas kasihan Tuhan, Ia menjumpai saya di lorong itu sebelum saya mengambil buah ketidakpercayaan. Sesungguhnya bukan informasi yang saya butuhkan; yang saya butuhkan adalah beristirahat dalam kedaulatan Allah. Saat salju menumpuk tinggi, Ia berdiri di samping saya serta memahami penderitaan dan kemarahan saya, bukan penilaian saya. Persekutuan-Nya dalam keputusasaan saya cukup mengejutkan hingga mengubah amarah saya menjadi kesedihan yang mendalam.

Pada malam yang gelap itu saya mendapati diri saya bersama Yeremia, para pemazmur, Hagar, Hana, dan perempuan Sunem. Saya dan mereka tidak dapat menyangkali teror dan kesalahan yang telah menyerang kehidupan kami. Kami diliputi kesedihan. Namun karena kami mengakuinya kepada Tuhan, kami bisa merasakan mukjizat penghiburan.

Perlahan-lahan, saya akhirnya mampu melonggarkan tangan yang terkepal dan bersandar pada lutut Tuhan yang bertakhta. Bersama-sama, kami berduka atas keluarga-keluarga di bangsal onkologi dan kedamaian yang hancur di rumah saya sendiri. Saya membuat keputusan yang menyakitkan untuk membiarkan Allah menjadi Allah.

Image: Photograph by Lewis Khan

Jika saya dapat kembali ke momen perjalanan di awal kisah dan berbicara dengan putri saya, yang sedang sakit di kursi penguatnya dan bertanya-tanya dalam hatinya yang lembut apakah kegelisahan adalah dosa, saya akan mengatakan kepadanya bahwa kesusahan hati berbeda dengan kegelisahan.

Article continues below

Perbedaan itu membantu saya, dan saya tahu itu akan membantunya juga. Hati yang gelisah melawan Allah, mengabaikan Allah, atau menyangkal Allah. Hati yang susah setuju dengan Allah bahwa dunia ciptaan-Nya telah hancur. Kefanaan yang kita kenakan (1Kor. 15:53) ingin mengambil buah kepercayaan pada diri sendiri, karena mengira bahwa hal itu akan membawa keteraturan. Berbeda dengan naluri kita, kegelisahan kita hanya akan mereda jika kita berserah—dan berharap pada—pemerintahan Allah.

Pada hari ketujuh, ketika Allah berhenti mencipta, duduk di atas takhta, dan memulai pemerintahan-Nya, Amsal mengatakan bahwa hikmat, yang dipersonifikasikan sebagai seorang wanita, merasa bersukacita (Ams. 8:22-31). Dia bersukacita bersama Adam dan Hawa atas ekosistem, binatang-binatang yang berkeliaran, laut yang bergelora, dan tanah yang siap untuk ditanami.

Hari ketujuh dari penciptaan adalah satu-satunya hari yang tidak berakhir dalam catatan Alkitab. Enam hari pertama terdiri dari pagi dan petang, tetapi hari ketujuh tidak berakhir seperti itu. Kita tetap berada di dunia yang dibangun oleh Tuhan dengan bumi mengelilingi matahari dan bintang-bintang mengarahkan navigasi.

Hikmat mengatakan:

Aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; aku bermain-main di atas muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku. (ay. 30–31)

Dalam Amsal 8, Hikmat menggambarkan nikmatnya hidup selaras dengan tatanan ciptaan Tuhan, yaitu bertindak dengan hikmat. Namun (mungkin ini mengacu pada Adam dan Hawa) mengabaikan hikmat berarti mencintai maut. Cukup sederhana? Andai saja kita bisa dengan mudah menanggung masalah dengan hati yang penuh kepercayaan!

Nenek saya adalah seorang wanita yang dicirikan dengan kegembiraan, sukacita, dan kerendahan hati di masa tuanya. Dia tertawa geli melihat tingkah polah cicit-cicitnya dan tidak mengingat-ingat kesalahan mereka. Salah satu hiburan favoritnya adalah melihat keluar jendela dan mengamati tupai dan burung di halaman rumahnya. Jika Anda memberinya kesempatan, dia akan menghibur Anda dengan cerita-cerita di halaman belakang rumah, dan selalu menutup ceritanya dengan memuji indahnya ciptaan Tuhan.

Jika melihat dia, Anda akan mengira dia menjalani kehidupan yang penuh pesona. Padahal tidak demikian. Tragedi adalah teman dekatnya. Sepupu saya pernah bertanya kepadanya bagaimana dia bisa tetap memiliki semangat yang manis, sedangkan begitu banyak teman-temannya tidak sebahagia itu. “Satu hari demi suatu waktu. Satu hari demi suatu waktu (menyelesaikan tantangan satu per satu, hari demi hari),” adalah jawabannya.

Article continues below

Orang Kristen memperingati istirahat pada hari Minggu sebagai cara untuk menghormati pemerintahan Allah—bukan untuk meniru istirahat-Nya—melainkan hal ini dimaksudkan untuk menjadi sikap kita sehari-hari. Hari ketujuh terus berlanjut—rumah sudah siap, pekerjaan aktif, dunia berjalan, dan Allah memerintah. Enam hari pertama dari penciptaan meyakinkan kita bahwa Tuhan akan menyediakan. Istirahat akan menghindar dari kita ketika kita memperkuat keamanan kita dengan menimbun sepatu, gawai, dan uang tunai.

Memang tidak akan pernah menjadi hal yang natural untuk menjauh dari keinginan untuk memegang kendali. Kita tergoda untuk bertindak seolah-olah semua hal yang terjadi di luar tanggung jawab kita adalah hal yang harus kita khawatirkan. Ketika tagihan menumpuk, naluri pertama kita jarang sekali mengingat kebergantungan kita pada kasih karunia Allah dan tunduk pada pemerintahan Allah. Kesusahan hati bisa menjadi kegelisahan jika kita tidak dengan bijak mempraktikkan penyerahan diri setiap hari, dengan doa dan tindakan yang meletakkan desakan kehendak kita demi mendapatkan jalan keluar sesuai waktu kita.

Istirahat yang alkitabiah memungkinkan kesusahan hati mendorong kita demi kerajaan Allah, bahkan ketika genggaman tangan kita goyah dan air mata kita meluap.

Karena apa yang terjadi setelah penciptaan dalam kitab Kejadian, kita hidup di hari ketujuh yang berkabut dan penuh dengan orang-orang yang memaksakan kehendaknya sendiri. Namun kita tidak terlempar kembali ke dalam kekacauan di hari pertama karena dosa kita. Tatanan Allah tetap ada, meskipun hubungan kita telah rusak dan hidup kita kini dipenuhi rasa sakit dan frustrasi (Kej. 3:16, 18-19).

Saya berharap saya bisa mengatakan kepada Clara apa yang saya katakan pada diri saya sendiri sekarang: Perhatikan burung-burung yang melintasi kita, dan ingatlah bahwa Allah peduli. Dengan menyelesaikan tantangan satu per satu, hari demi hari, peristirahatan akan dapat ditemukan di dalam Hikmat—dengan mengenal Tuhan Sang Pencipta, Tuhan yang menciptakan dunia yang indah dan menempatkan kita di dalamnya, yang senang menjalin relasi dengan kita. Jaminan ini, wahai Saudara yang terkasih, adalah cara kita untuk dapat menjaga hati kita yang sedang susah agar tetap lembut ketika kesulitan dan kesukaran datang tanpa terelakkan.

Article continues below

Ini bukan Eden, tetapi ini masih hari ketujuh yang berkabut. Jiwa kita dapat beristirahat dengan tenang pada Allah yang bijaksana, murah hati, dan berkuasa, yang duduk di atas takhta dan menanggung kesulitan bersama-Nya.

Rachel Booth Smith menulis, mengajar, dan memproduksi alat belajar. Ia tinggal bersama keluarganya di Minnesota dan menyelesaikan gelar Master of Divinity di Pillar Seminary.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]