Setelah perselisihan selama sebulan di Mahkamah Konstitusi, Prabowo Subianto secara resmi dinyatakan sebagai presiden terpilih Indonesia pada bulan April. Bagi umat Kristen di Indonesia, keputusan akhir Mahkamah Konstitusi diharapkan menandai berakhirnya polarisasi dan menjadi langkah awal menuju persatuan. Jefri Gultom, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), menyambut baik keputusan tersebut, dengan menyatakan bahwa gugatan tersebut mencerminkan pentingnya mekanisme hukum dalam menyelesaikan perselisihan politik.

Sejalan dengan seruan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) untuk memulihkan persatuan bangsa, Gultom mendorong umat Kristen untuk bersatu, mengesampingkan perbedaan demi mengatasi tantangan dan mendorong terciptanya Indonesia yang lebih sejahtera. “Kita adalah bagian dari satu bangsa yang besar, dan sebagai umat Kristen, kita dipanggil untuk menjadi agen perdamaian dan persatuan,” kata Gultom.

Prabowo, mantan jenderal Angkatan Darat yang ikut serta dalam pemilu presiden pada tahun 2014 dan 2019, meraih kemenangan terbanyak pada pemilu ketiganya, dengan memperoleh hampir 60 persen atau lebih dari 96 juta suara. Adapun Indonesia merupakan negara dengan umat Islam terbesar di dunia, dan hampir 30 juta umat Kristen merupakan 11 persen dari total jumlah populasinya.

Mengenai reputasi Prabowo yang terkait erat dengan rezim otoriter Suharto dan pelanggaran HAM berat di masa lalu, Gultom menyatakan sebaiknya jangan langsung berprasangka buruk sampai ada proses peradilan. “Bangsa ini harus dibangun dengan sudut pandang positif, bukan negatif. Ketika kita tidak pernah beranjak dari persoalan-persoalan masa lalu, maka sulit membicarakan masa depan bangsa ini,” ujarnya. “Proses sejarah yang telah berlalu dapat menjadi pembelajaran bagi Prabowo untuk mengevaluasi perjalanan bangsa kita menuju masa depan yang lebih baik. Jadi, mari kita berikan kepercayaan kita padanya.”

Grace Natalie, pemimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI), salah satu partai pendukung Prabowo dalam Koalisi Indonesia Maju, ingin lebih banyak umat Kristen di Indonesia terlibat dalam politik. PSI yang didirikan Natalie pada tahun 2014 merupakan partai yang melakukan advokasi terhadap korban kekerasan seksual dan memerangi korupsi politik. Hampir separuh anggotanya adalah perempuan, dan sebagian besar berusia di bawah 40 tahun.

“Umat Kristen adalah milik Kerajaan Surga dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya. “Jika kita ingin negara maju, kita harus terlibat aktif, memastikan bahwa segala peraturan bermanfaat bagi masyarakat… Kita tidak boleh menolak [untuk berpartisipasi] karena takut…karena hal ini dapat membawa perbaikan.”

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Bisakah Prabowo, meskipun reputasinya kontroversial, menyatukan negara? Bagaimana gereja dapat mendorong umat Kristen untuk terlibat dalam partisipasi politik yang penuh harapan di tengah tantangan transisi kekuasaan?

Keterlibatan politik yang alkitabiah

Maria Sumarsih, ibu dari seorang mahasiswa yang terbunuh pada tahun 1998 setelah personel militer menembaki para mahasiswa yang menentang rezim Suharto, khawatir bahwa dengan berkuasanya Prabowo, dia dan keluarga korban lainnya tidak akan melihat adanya penyelidikan nyata atas kasus yang menimpa orang yang mereka cintai. Meskipun beberapa petugas polisi yang terlibat dalam kematian putranya menghadapi tuntutan di pengadilan militer, dalang di balik penembakan tersebut masih belum diketahui.

“Hak asasi manusia adalah jantung demokrasi,” katanya. “Apa arti demokrasi jika suatu negara tidak menghormati dan melindungi kehidupan rakyatnya?”

Selama 17 tahun terakhir, Sumarsih, seorang Katolik, telah mengadakan protes diam mingguan (Aksi Kamisan) di Istana Negara di Jakarta, sebuah gerakan yang kini telah menyebar ke 65 kota di seluruh negeri dan diikuti oleh keluarga korban lainnya. Sumarsih mengatakan perjuangannya untuk mendapatkan keadilan dilatarbelakangi oleh Roma 5:3-5, “kesengsaraan menimbulkan ketekunan; ketekunan menimbulkan tahan uji; dan tahan uji menimbulkan pengharapan.”

Dikson Ringo, ketua kelompok yang mewakili alumni GMKI dan secara terbuka mendukung calon pasangan lawan Prabowo, Ganjar-Mahfud, menambahkan bahwa dengan politik Indonesia yang pragmatis, populisme yang dipicu oleh media sosial dan politik uang semakin menjauhkan gagasan dari wacana politik. “Idealnya politik harus menjadi arena pertukaran gagasan publik. Pada kenyataannya, pragmatisme politik mendorong tumbuhnya tipu muslihat politik dan, pada akhirnya, katanya, menghambat wacana publik.

Namun, Ringo percaya bahwa persatuan umat Kristen masih penting di tengah perselisihan politik. “Kami memiliki jaringan pertemanan dengan pihak-pihak yang terafiliasi dengan Anies dan Prabowo, termasuk alumni GMKI lainnya yang terlibat dalam tim kampanye mereka.”

Meskipun menjaga demokrasi dan membiarkan pihak yang tidak kita setujui untuk memegang kekuasaan politik tidaklah mudah, Ringo mengatakan persatuan akan terjadi secara bertahap dan alami, namun hanya pada kepentingan yang berkaitan dengan isu-isu nasional, seperti kebebasan beragama, keadilan ekonomi, dan keadilan hukum.

Article continues below

Ringo menganggap pemilu 2024 tersebut “kurang kebebasan, kejujuran, dan keadilan, serta melanggar nilai-nilai demokrasi dalam regenerasi kepemimpinan politik,” namun ia mengatakan bahwa ia bersedia menerima keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai fakta hukum.

“Kami akan melanjutkan gerakan ekstra-parlementer sebagai oposisi, mengawasi dan memastikan demokratisasi negara ini sejalan dengan hukum.”

Perbedaan juga dalam pilihan politik dapat muncul di dalam gereja dan keluarga. Kristin Ida Sianipar, seorang rohaniwan di Surabaya, berbagi pengalamannya dengan beberapa anggota keluarganya yang memilih pasangan calon lain. Dia dan saudara iparnya memilih mantan gubernur Jawa Tengah, Ganjar, sebagai presiden berikutnya, sementara saudara laki-laki dan ibunya memilih mantan jenderal Angkatan Darat, Prabowo.

Hingga saat pencoblosan, Sianipar dan keluarganya berusaha meyakinkan satu sama lain untuk memilih calon pilihan mereka di grup WhatsApp keluarga. Ketika dia mengunggah postingan di Facebook untuk mendukung Ganjar, seorang pendukung Prabowo yang beragama Kristen menyatakan bahwa Ganjar adalah “boneka” pemimpin partainya. Sianipar mempertimbangkan untuk memblokir temannya, namun akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya.

“Kita cenderung tidak melihat sisi baik dari kandidat lain, padahal mereka mungkin memiliki kualitas yang baik,” ujarnya. Kemudian, dia berdoa agar kehendak Tuhan terlaksana, meskipun dia tidak menyukai atau memahami hasilnya. Ia juga mengajak umat Kristen untuk meluangkan waktu berdoa bagi para pemimpin terpilih (1Tim. 2:1-2), dengan harapan Tuhan akan memberikan mereka hikmah dalam memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Di tengah dinamika politik Indonesia yang tidak mengenal kawan dan lawan sejati, umat kristiani perlu memperluas wawasan politiknya untuk membangun teologi bangsa yang mendalam agar tidak terjerumus dalam godaan politik partisan. Menurut Joas Adiprasetya, dosen Seminari Teologi Jakarta, kita perlu memahami bahwa negara, termasuk partai politik dan tokoh partai, bukanlah segalanya. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya fokus pada pemilu lima tahunan saja.

Bagi Adiprasetya, keterlibatan politik umat Kristen harus lebih diarahkan pada masyarakat, dan orang-orang percaya harus terlibat dalam isu-isu sipil seperti kesenjangan, diskriminasi, kemiskinan, dan degradasi lingkungan. “Itulah teologi publik gereja atau teologi sosial yang perlu dipraktikkan sehari-hari di sela-sela masa pemilu,” ujarnya.

Article continues below

Adiprasetya mengkritik para pendeta yang bersikap reaksioner selama masa-masa panas sebelum dan sesudah pemilu. Kadang-kadang mereka yang mendukung kandidat favorit mereka dari mimbar atau di media sosial, “mengkompromikan Injil demi kepentingan politik jangka pendek.” Setelah pemilu selesai, pendukung partai pemenang akan menyerukan perdamaian, kata Adiprasetya, sementara pendukung kandidat yang kalah “biasanya tetap diam dan menyimpan kebencian” hanya agar pola serupa muncul kembali pada pemilu berikutnya.

Sebaliknya, ia percaya bahwa para rohaniwan perlu mendidik jemaatnya untuk terlibat dalam politik dengan cara yang saleh. Jauh sebelum pemilu dilaksanakan, gereja harus membina para pemimpin Kristen untuk menggunakan peran politik mereka “secara kritis, profetis, dan bermoral,” serta membimbing para pemilih Kristen untuk memilih sesuai dengan etika moral.

Membahas politik dalam komunitas

Bagi banyak jemaat gereja, prioritas politik mereka berkisar pada upaya pencegahan agar keberpihakan politik tidak memecah-belah jemaat mereka. Di Huria Kristen Indonesia (HKI) Missional Church di Pematangsiantar, Sumatera Utara, Pendeta Beresman Nahampun memperkenalkan tradisi Yahudi hafruta o mituta (berteman atau mati), sebuah konsep yang meyakini bahwa hubungan dekat mendasari dan memungkinkan adanya tantangan dan koreksi.

Di jemaatnya, para anggota bertemu dalam kelompok beranggotakan enam orang di mana setiap orang dapat menyampaikan pendapatnya dan memperdebatkan berbagai penafsiran ayat Alkitab. Sebelum pemilihan presiden, kelompok-kelompok tersebut mendiskusikan siapa yang akan mereka pilih. “Meski berbeda pandangan politik, perbincangan tidak memanas,” kata Nahampun.

“[Budaya Batak] kami terbiasa berdialog dan ngobrol di kedai kopi,” kata pendeta tersebut, mengacu pada kelompok suku yang menjadi bagian dari jemaatnya. “Tidak ada kebencian atau kepahitan. Saya percaya ini semua berkat kasih Kristus dan kebijaksanaan intelektual dari Roh Kudus.”

Sebagai gereja lokal multi-etnis, Missional Church juga mempertemukan orang-orang yang berbeda untuk berdoa dan makan malam bersama. Hal ini memberikan ruang bagi anggota gereja untuk terbuka tentang berbagai topik, termasuk politik, dan tetap bersatu sebagai saudara dan saudari. Nahampun meminta, “yang menang jangan terlalu euforia, dan yang kalah hormati serta terima hasil pemilu dengan prinsip yang menang adalah Indonesia.”

Article continues below

Bagi mereka yang terpilih menjadi pemimpin, ia mengingatkan bahwa tanggung jawab moral dan etika seorang pemimpin melampaui kepentingan politik atau kekuasaan.

“Pemimpin tidak hanya bertanggung jawab di hadapan hukum dan masyarakat, tetapi juga di hadapan Tuhan,” kata Nahampun.

Menurut Andreas Yewangoe, tokoh Kristen Indonesia dan mantan Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), usai pemilu presiden, umat Kristen Indonesia tidak terpecah-belah, karena kita memilih calon berdasarkan keyakinan pribadi dan keyakinan politik, bukan berdasarkan gereja atau institusi mana pun.

Setiap menjelang pemilihan presiden, PGI selalu mengeluarkan surat pastoral yang berisi imbauan untuk memilih calon yang benar-benar menjunjung tinggi kepentingan bersama tanpa memandang suku, agama, ras, hubungan antargolongan, dan anti korupsi. Namun, pada akhirnya umat kristiani menentukan pilihannya sendiri.

Lebih lanjut, secara historis dan sosiologis, Yewangoe menyatakan bahwa “umat kristiani di Indonesia sudah terbiasa dengan bebas menjalankan hak politiknya dalam kehidupan yang demokratis. Umat Kristen di Indonesia tidak perlu terpecah belah, seperti di Filipina atau Amerika (yang memiliki sejarah dan pandangan teologis berbeda). Setelah pemungutan suara, perselisihan politik selesai.”

Umat Kristen, kata Pendeta Nahampun, bisa mencontoh upaya jemaat gereja mula-mula yang menolak polarisasi karena perbedaan politik, sosial, dan budaya. Dalam Kisah Para Rasul 2:42-47, digambarkan bahwa jemaat mula-mula di Yerusalem hidup dalam kesatuan, berbagi segala sesuatu dan menjaga kesatuan masyarakat, meskipun terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang, baik Yahudi dan non-Yahudi. Rasul Paulus juga mengajarkan bahwa di dalam Kristus, tidak ada lagi perbedaan; semua menjadi satu di dalam Kristus (Gal. 3:28), begitu pula tentang keutamaan kasih dalam kehidupan kristiani (1Kor. 13).

Gultom dan Ringo keduanya mendukung kandidat yang berbeda (Prabowo dan Ganjar, masing-masing), namun keduanya menyampaikan pesan serupa di komunitas yang mereka pimpin.

Sebelumnya, GMKI memiliki visi yang sama untuk melawan rezim Suharto, kata Ringo. Pada pemilu tahun ini, ketika sesama anggota berada dalam kubu yang berbeda, mereka mampu tetap berteman karena “nilai-nilai kristiani yang mempersatukan kita terinternalisasi dengan kuat,” kata Ringo. “Selama pelatihan, kami berpartisipasi dalam studi Alkitab, yang menanamkan nilai-nilai ini secara mendalam pada setiap anggota GMKI, bertindak seperti antibiotik ketika pilihan politik berbeda.”

Article continues below

Dan selama peralihan kekuasaan, Gultom menekankan komitmen GMKI untuk memperkuat kepercayaan antar umat beriman dengan mengingatkan mereka bahwa “persatuan adalah kekuatan kita” sebagai sebuah bangsa dan “kita adalah satu di dalam Kristus.”

[ See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]