Artikel ini diadaptasi dari buletin Russell Moore. Berlangganan di sini.

Konsep “diam-diam meninggalkan” (quiet quitting)—menolak untuk melakukan apa pun selain upaya yang minimal—marak dibicarakan di berbagai media akhir-akhir ini. Para komentator memperdebatkan apakah para pekerja masa kini, terutama karyawan usia Gen Z, diam-diam meninggalkan pekerjaannya.

Saya termasuk orang yang skeptis. Beberapa pembicaraan tentang diam-diam meninggalkan pekerjaan hanyalah karikatur generasi lainnya (saya belum melihat buktinya). Bisa saja para pekerja menyelesaikan pekerjaan mereka sesuai yang diharapkan atau lebih dari itu, tetapi mereka memberikan batasan yang sehat antara diri mereka sendiri dan pekerjaan mereka.

Mungkin fenomena diam-diam meninggalkan ini sedang terjadi di beberapa tempat kerja, meskipun saya rasa hal ini tidak selalu terjadi di mana-mana. Namun, walau hanya mitos, gagasan ini menunjukkan sesuatu yang nyata dalam kehidupan banyak orang: Perasaan bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan, bahwa segala sesuatunya tidak akan pernah berubah.

Saya menemukan mentalitas ini sebagai godaan yang nyata dalam konteks gereja.

Kita yang melihat apa yang terjadi dalam kehidupan bergereja, mungkin akan mudah sampai pada kesimpulan yang sama bahwa tidak ada yang akan berubah, apa pun yang kita lakukan. Kita mungkin tetap datang ke gereja, tetap berdoa, terus mengajar, terus melayani—tetapi kita tidak akan pernah benar-benar menantikan sesuatu yang berbeda dari krisis yang sama.

Saya sendiri menemukan tendensi ini di dalam diri saya selama seminggu terakhir.

Baru-baru ini, saya berkhotbah di sebuah kota yang jauh dari rumah, dan seorang pemuda Kristen Baptis yang mengesankan dan berusia 20 tahunan menjemput saya dari bandara. Saat kami berbicara tentang pelayanan dan apa yang dia lakukan di gereja, dia merefleksikan sesuatu yang saya tulis di sini—tentang betapa banyak pemimpin yang saya kenal mengalami demoralisasi akibat kegilaan saat ini, baik di dalam maupun di luar gereja.

Sejak ia beranjak dewasa selama satu dekade terakhir, ia mengatakan bahwa ia tidak dapat mengingat masa di mana provokasi di media sosial, keruntuhan institusi, politik yang memecah-belah keluarga dan gereja, serta gelombang skandal yang bergulir tidak dianggap sebagai sesuatu yang normal.

Inilah yang saya takutkan selama ini. Mengenai krisis integritas yang dihadapi gereja saat ini, saya tentu saja mengkhawatirkan mereka yang meninggalkan gereja dengan perasaan jijik. Namun saya jauh lebih khawatir dengan mereka yang melihat keadaan gereja—dan negara—yang rusak saat ini sebagai sesuatu yang “normal.”

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Pemuda Kristen ini telah dimuridkan dan dapat melihat lingkup sejarah dengan cukup baik untuk membedakan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya ada. Namun saya bertanya pada diri sendiri, bagaimana dengan mereka yang tidak bisa? Saat kami berbincang-bincang, ponsel saya berbunyi karena ada pesan teks yang masuk—yang memberitahu saya bahwa ada rekan pelayanan yang mengundurkan diri karena suatu krisis.

Setelah itu, saya bertemu dengan sekelompok pendeta yang juga mengesankan, mereka berasal dari berbagai denominasi Injili yang berbeda. Banyak dari mereka berbicara tentang rekan-rekan dalam pelayanan yang mengalami keadaan darurat kesehatan mental karena kesulitan dalam memimpin gereja mereka melewati pandemi COVID-19 dan perpecahan politik. Banyak yang berbicara tentang orang-orang muda yang mereka kenal yang menyimpulkan bahwa gereja tidak lebih dari sekadar oportunisme politik, atau lebih buruk lagi.

Sementara saya berusaha memberikan semangat kepada para pendeta ini, saya terus memikirkan kabar buruk yang datang melalui pesan teks, kekhawatiran yang muncul dari percakapan di mobil, dan pertaruhan yang sedang dihadapi gereja saat ini.

Bahkan bagi seseorang yang baru saja menulis di minggu itu tentang bahaya fatalisme, ekspektasi saya menurun, pola pikir saya semakin gelap, dan saya mulai mati rasa karena mendengar begitu banyak cerita ini. Semua ini tidak lagi mengejutkan saya.

Kemudian sebuah percakapan lain mengguncang perhatian saya.

Minggu lalu adalah minggu pertama seminar yang saya ajar dari Kitab Kejadian. Setelah itu, seorang pemuda—mungkin berusia 19 atau 20 tahun—datang menyapa. Dia bersekolah di sekolah kejuruan di daerah tersebut dan mengatakan kepada saya bahwa dia berharap bisa mengikuti jejak kakeknya.

Kakeknya, seorang montir, tidak hanya melayani komunitasnya dengan memperbaiki kendaraan, melainkan juga, di sepanjang hidupnya, melayani dan memberitakan Injil di tempat penampungan tunawisma dan penjara—menunjukkan kasih kepada mereka yang telah dilupakan oleh banyak orang.

Pemuda ini berkata bahwa dia ingin menjadi seperti kakeknya—mempelajari suatu keterampilan dan mempraktikkannya dengan sangat baik (bukan diam-diam meninggalkan) dan belajar bagaimana melayani para narapidana, tunawisma, dan kelompok orang lainnya sesuai panggilan yang Yesus berikan bagi dirinya. Pemuda itu berbinar-binar saat dia berbicara tentang berada di sekitar orang non-Kristen dan kesempatan untuk merepresentasikan Yesus dengan kasih dan integritas.

Article continues below

Saya pun pulang dengan perasaan bersemangat dan dikuatkan akan masa depan gereja. Kakek ini, yang namanya saja bahkan saya tidak tahu, merupakan teladan integritas Injil yang membuat cucunya bercita-cita menjadi seperti dia. Saya bahkan tidak tahu apakah pria tua itu masih hidup atau sudah meninggal, tetapi pelayanannya masih terus membara—mendorong cucunya ke arah yang sama.

Belum lagi semua orang dari penjara dan tempat penampungan tunawisma yang saat ini melayani Kristus karena kesaksian kakek tersebut. Berapa banyak jiwa yang terselamatkan, berapa banyak orang yang diarahkan kepada kekekalan, dan berapa banyak keluarga yang disatukan kembali melalui perbincangan yang dia lakukan mengenai pompa bahan bakar yang rusak atau alternator yang tidak berfungsi?

Percakapan saya dengan cucu dari pria ini merupakan anugerah yang mendisrupsi hidup saya.

Saya tidak menganggap diri saya sinis, tetapi mungkin saya sudah terlalu dekat dengan hal itu hingga pertemuan ini mengingatkan saya mengapa saya menjadi seorang Kristen. Saya benar-benar percaya bahwa Yesus hidup, bahwa Roh Kudus sedang bergerak, dan bahwa Injil masih bekerja seperti biasanya—seperti ragi yang berfermentasi atau benih yang bertunas, seperti kehidupan dari kematian

Saya menjadi tidak sabar dengan mereka yang berkata, “Baiklah, jangan berbicara mengenai hal-hal buruk; berbicaralah tentang semua hal baik yang sedang terjadi,” mengingat semua kekejaman yang terjadi dalam kekristenan Amerika saat ini. Bukan itu yang saya maksud di sini. Itu adalah manajemen hubungan masyarakat, dan semua orang dapat melihatnya sebagaimana adanya—perlindungan suku.

Cara mengasihi gereja adalah dengan menjadi saksi—yang berarti menyampaikan kebenaran. Jika kita tidak berbicara jujur tentang cara-cara gereja yang menyimpang dari misi Kristus, maka kita tidak benar-benar percaya dengan apa yang kita katakan: bahwa gereja dimaksudkan untuk menjadi terang bagi dunia, yaitu umat yang telah ditebus yang menunjukkan apa yang artinya bertobat dan mengikut Jalan Tuhan.

Ketika kita tidak melihat atau mengakui alasan-alasan yang sangat baik mengapa banyak orang kehilangan kepercayaan terhadap gereja—atau ketika kita hanya menyoroti bagian-bagian yang tidak mengajak kita untuk bertobat—maka sama saja kita berkata kepada banyak orang, hampir secara harfiah, “Persetan denganmu.”

Article continues below

Cara kita untuk menolong mereka yang skeptis terhadap gereja adalah dengan mengasihi mereka, mendukung mereka, dan melakukan yang terbaik agar dapat dipercaya. Namun kita dapat melakukannya hanya jika kita tetap bertahan dan tidak menyerah. Kita berhutang budi kepada mereka yang kehilangan harapan, untuk tetap memberikan pengharapan bagi mereka.

Pengharapan tidak muncul begitu saja. “Pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” tulis rasul Paulus. “Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun” (Rm. 8:24–25). Lebih lagi, Paulus menulis, harapan muncul melalui kesengsaraan—karena “kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan” (Rm. 5:3–5).

Pengharapan bukanlah strategi hubungan masyarakat atau pemasaran. Pengharapan tidak mengabaikan mereka yang sedang menderita atau berjuang untuk bertahan. Akan tetapi, bahkan ketika kita bertahan, bahkan ketika kita berharap, kita mungkin saja mendapati diri kita menjadi mati rasa terhadap cara-cara Tuhan, yang tidak hanya menggoncangkan gereja-Nya, melainkan juga membangun, mereformasi, dan membentuknya kembali.

Terkadang Tuhan menyegarkan kembali pengharapan kita dengan memberi kita sedikit kilasan kesadaran akan apa yang sedang terjadi di luar pandangan kita. Terkadang kita memerlukan percakapan yang tak terduga untuk melihat betapa terang pancaran kemuliaan-Nya.

Ini juga berarti kita tidak boleh berhenti membiarkan diri kita takjub dengan anugerah atau dikejutkan oleh sukacita. Baik dengan terang-terangan ataupun diam-diam, mari kita jangan menyerah.

Russell Moore adalah pemimpin redaksi di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Joseph Lebani.

[ This article is also available in English 简体中文, and 繁體中文. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]