Pada tahun 2015, gereja First Presbyterian Church of Deming di New Mexico, harus mengganti tali gantungan di menara loncengnya. Setelah 75 tahun dipakai secara rutin, akhirnya tali itu menjadi rapuh. Lonceng tersebut telah dipakai sejak bangunan bergaya misi Pueblo itu dibangun pada tahun 1941, dan gerejanya sendiri sudah ada sejak pergantian abad ke-20.

Tidak banyak bagian lainnya yang bertahan seperti lonceng tersebut. Hari ini, dinding bata asli bangunan gereja itu ditutupi dengan panel putih dan atap biru muda. Pada bagian depan, tangga menuju pintu masuk telah diganti dengan jalur untuk kursi roda. Ada suatu masa ketika jemaat hampir memenuhi ruang ibadah yang berkapasitas 200 orang itu. Pada hari Minggu baru-baru ini, hanya lima orang saja yang hadir.

“Itu adalah angka terendah yang pernah terjadi,” kata Liv Johnson. Dalam tiga dekade sejak ia mulai bekerja sebagai sekretaris di First Presbyterian, Johnson telah menyaksikan keluarnya orang-orang sedikit demi sedikit. “Ketika saya pertama kali datang ke sini, rata-rata kehadiran—karena saya harus membuat laporannya—adalah 82 orang,” katanya. “Saya ingat dulu ada 35 anak Sekolah Minggu, dan sekarang kami tidak punya sama sekali.”

Meski begitu, Johnson tidak putus asa. Ia percaya bahwa kepemimpinan yang kuat dan stabil akan dapat mengembalikan keadaan. Namun baru-baru ini, kepemimpinan yang konsisten adalah hal yang sulit diperoleh.

Pada tahun 2018, pendeta First Presbyterian, Adam Soliz, meninggal dunia setelah berjuang melawan kanker paru-paru. Lalu seorang pendeta baru yang lebih muda mengambil alih kepemimpinan di jemaat itu tepat ketika pandemi COVID-19 menurunkan tingkat kehadiran di gereja. Pendeta baru itu pun mempertimbangkan ulang arah panggilan pelayanannya, lalu pada Agustus 2021, ia menerima pekerjaan lain dengan gaji yang lebih baik dan pergi.

Sayangnya, mengganti seorang pendeta jauh lebih sulit daripada mengganti tali lonceng. Dan semakin lama, semakin mahal biayanya.

Untuk memenuhi anggaran bulanannya, gereja bergegas mencari keluarga yang mau menyewa rumah pastori. “Saya harus berperan sebagai pemilik rumah. Saya bahkan pernah berkhotbah,” kata Johnson, satu-satunya staf yang tersisa. Dengan bantuan pengkhotbah tamu, mereka tetap ada khotbah setiap minggu. Akan tetapi banyak anggota jemaat mengatakan bahwa mereka tidak akan kembali sampai gereja tersebut mendapatkan seorang pendeta tetap.

Musim gugur yang lalu, Dale Cook, kepala diaken di sebuah gereja Presbiterian di Las Cruces, New Mexico, berkendara sejauh 60 mil ke Deming untuk berkhotbah di gereja tersebut. Mereka menyukainya dan bertanya apakah dia mau mempertimbangkan untuk berkhotbah secara teratur.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Cook sekarang sedang berusaha untuk menjadi pendeta awam yang ditugaskan di First Presbyterian di Deming. Ia percaya bahwa Tuhan telah mempersiapkannya untuk peran ini sejak ia masih kecil. “Saya dibesarkan di rumah seorang pendeta Baptis Selatan. Ia melayani bersama Home Mission Board dan berkeliling untuk merintis gereja-gereja kecil dan membangun kembali gereja-gereja tua yang telah kehilangan semua anggota jemaatnya,” katanya.

Cook berencana untuk melayani secara bivokasional sehingga dia dapat pindah ke rumah pastori pendeta dan mendukung gereja melalui uang sewanya dan lokasinya yang dekat dengan gereja. “Saya diberitahu, ‘Jika Anda pindah ke sana, Anda akan tinggal tepat di sebelah gereja. Anda diharapkan siap sedia 24 jam sehari, 7 hari seminggu.’ Dan saya menjawab, ‘Ya memang seperti itulah yang selalu saya pikirkan tentang seorang pendeta.’”

Pergumulan gereja First Presbyterian untuk menemukan dan mempertahankan seorang pendeta bukanlah hal yang aneh bagi gereja-gereja kecil di seluruh Amerika Serikat. Dan menurut banyak ahli, hal ini akan menjadi semakin umum karena negara ini berpotensi mengalami lonjakan pengunduran diri para pendeta.

Dalam daftarnya yang berjudul “10 Hal yang sedang Tren dalam Gereja pada Tahun 2022,” penulis dan peneliti Thom Rainer memperkirakan akan meningkatnya kekurangan pendeta: “Pengunduran diri para pendeta akan meningkat sebesar 20%. Pengunduran Diri Besar-besaran (Great Resignation) akan memukul keras para pendeta.” Dan pada September 2021, penulis dan pendeta Dane Ortlund mencuit di Twitter, “Gelombang besar pengunduran diri pendeta akan terjadi pada tahun 2022.”

Jika mereka benar, akan ada lebih banyak gereja yang akan mengalami defisit kepemimpinan—dan hanya sedikit gereja yang akan memiliki pemimpin seperti Dale Cook untuk memimpin. Kekurangan pendeta secara nasional dapat menjadi lonceng kematian bagi banyak gereja yang lebih kecil.

Akan tetapi suatu pengamatan yang lebih mendalam terhadap data pekerjaan kependetaan menunjukkan bahwa, walaupun berita tentang Pengunduran Diri Besar-besaran dalam pelayanan para pendeta disampaikan di mana-mana mulai dari The Washington Post hingga The Wall Street Journal, tetap ada alasan untuk mempertanyakan apakah pengunduran diri pendeta secara masal benar-benar akan terjadi. Ada juga alasan untuk berpikir bahwa alternatif yang lebih mungkin terjadi—masa depan di mana para pendeta tidak keluar—bisa jadi lebih mengkhawatirkan.

Article continues below

“Pengunduran diri besar-besaran akan segera terjadi,” profesor Texas A&M Anthony Klotz memperingatkan dalam artikel Bloomberg pada Mei 2021 tentang tenaga kerja di Amerika pada umumnya. “Ketika situasi tidak menentu, orang-orang cenderung berdiam diri, sehingga banyak pengunduran diri yang terpendam dan tidak terjadi di tahun sebelumnya.”

Tidak butuh waktu lama bagi timbunan pengunduran diri ini untuk terurai. Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS), pada April 2021 ada lebih banyak orang Amerika yang meninggalkan pekerjaan mereka dibanding bulan-bulan sebelumnya. Sebuah disrupsi yang hampir mendominasi berita-berita, the Big Quit, mendapatkan momentumnya menjelang musim panas, yang mencapai puncaknya ketika 4,5 juta orang berhenti dari pekerjaan mereka pada bulan November.

Pengunduran diri ini menghantam beberapa profesi lebih keras daripada yang lain. Sektor perawatan kesehatan kehilangan ratusan ribu karyawan dan terjerumus ke dalam krisis yang belum pulih. Banyak perawat yang pergi, memilih untuk tidak kembali.

Image: Ilustrasi oleh Dadu Shin

Jumlah pendeta di Amerika jauh lebih sedikit dibanding perawat, tetapi sebagian orang mengantisipasi adanya eksodus serupa dari pelayanan kependetaan. Sebagaimana yang dilaporkan Christianity Today, survei Barna Group pada Oktober 2021 mengungkapkan bahwa 38 persen pendeta Protestan secara serius mempertimbangkan untuk berhenti dari pelayanan penuh waktu di tahun itu—hampir sepertiga lebih banyak daripada ketika Barna mengajukan pertanyaan yang sama di bulan Januari.

Sekilas, hal ini sejalan dengan apa yang kita lihat di Amerika secara luas. Sebuah survei dari Yahoo Finance/Harris Poll tahun lalu menemukan bahwa 37 persen pekerja AS “berpikir untuk meninggalkan pekerjaan mereka saat ini atau sudah siap-siap untuk pindah.”

Akan tetapi Pengunduran Diri Besar-besaran lebih kompleks daripada yang tersirat dari namanya. Hal itu lebih mirip seperti sebuah Perombakan Besar-besaran (Great Reshuffling). Dalam sebuah artikel untuk The Atlantic, Derek Thompson menulis, “Peningkatan jumlah orang yang berhenti dari pekerjaan kebanyakan adalah pekerja-pekerja dengan gaji rendah yang pindah ke pekerjaan yang lebih baik dalam industri-industri yang menaikkan gaji untuk menarik tenaga kerja baru secepat mungkin.”

Article continues below

Meskipun hotel dan restoran mengalami tingkat pengunduran diri yang lebih tinggi dari sebelumnya, tetapi sektor akomodasi dan layanan makanan bertumbuh sebanyak dua juta tenaga kerja tahun lalu. Ini adalah pasarnya para pencari kerja, tetapi kekurangan tenaga kerja yang dramatis yang kita lihat dalam bidang perawatan kesehatan adalah sebuah keanehan dalam Pengunduran Diri Besar-besaran.

Sementara kekurangan perawat terdokumentasikan dengan baik, hanya ada sedikit bukti bahwa para pendeta berbondong-bondong meninggalkan pelayanan—setidaknya untuk saat ini.

Dalam sebuah survei yang sangat menyeluruh mengenai data pengurangan pelayanan yang tersedia, Allison K. Hamm dan David E. Eagle dari Duke University tahun lalu menyimpulkan bahwa “perkiraan terbaik menunjukkan bahwa tingkat pengurangan tahunan di seluruh denominasi Protestan di Amerika Serikat umumnya sekitar 1%–2%, dengan adanya anomali-anomali spesifik pada konteks tertentu.”

Hal ini sejalan dengan penelitian Lifeway Research di 2015 yang mendapati adanya tingkat pengurangan tahunan sebesar 1,3 persen di antara para pendeta senior dari kalangan Injili dan Protestan kulit hitam. Jadi jika kita mencari lonjakan jumlah pendeta yang meninggalkan pelayanan, pengurangan tahunan sebesar 1 atau 2 persen adalah angka dasar yang masuk akal untuk dipakai sebagai titik berangkatnya.

“Suatu hari saya sedang berjalan menuju gereja, dan saya merasa ada sesuatu yang putus di dalam diri saya, seperti karet gelang yang diregangkan terlalu jauh.” Jonathan Dodson

Untuk mempelajari bagaimana dua tahun terakhir telah memengaruhi tenaga kerja kependetaan, perhatikanlah data BLS tentang pendeta. Untuk pertama kalinya sejak tahun 2011, perkiraan tenaga kerja nasional bidang kependetaan menurun pada tahun 2020, dari 53.180 pada 2019 menjadi 52.260. Jumlah itu turun lagi pada tahun 2021 menjadi 50.790. Namun kita sebaiknya melihat angka-angka tersebut dengan sikap sedikit ragu. Konvensi Baptis Selatan saja memiliki 47.592 gereja pada tahun 2020, jadi BLS hanya mengukur sebagian kecil dari seluruh pendeta di AS.

Dalam sebuah matriks ketenagakerjaan nasional yang menunjukkan proyeksi tenaga kerja satu dekade berikutnya, BLS menggunakan angka yang lebih realistis untuk total tenaga kerja kependetaan di tahun 2020: 260.600, meningkat dari 243.900 di tahun sebelumnya. Mereka memperkirakan tingkat pertumbuhan 3 persen yang lebih lambat dari rata-rata antara tahun 2020 dan 2030, tetapi itu pun masih jauh dari kekurangan.

Article continues below

Ukuran yang lebih dapat diandalkan berasal dari studi Lifeway Research di tahun 2021 yang mencerminkan hasil penelitian dari tahun 2015. Penelitian ini mendapati bahwa selama dekade lalu, hanya 1,5 persen dari pendeta senior dari kalangan Injili dan Protestan kulit hitam yang meninggalkan pelayanan setiap tahunnya—sebuah peningkatan yang tidak signifikan secara statistik dari penelitian tahun 2015 dan masih termasuk dalam tingkat pengurangan yang wajar.

“Biasanya, ketika [pendeta-pendeta] menjauh dari gereja—jika situasinya benar-benar buruk di sana—mereka beralih ke peran pastoral lainnya,” kata Scott McConnell, direktur eksekutif Lifeway Research. “Dan hal itu masih kita lihat hingga kini.”

Sebuah survei oleh Scott Thumma dan Hartford Institute for Religion Research yang dilakukan selama musim panas 2021 mengungkapkan bahwa, walaupun 37 persen pendeta secara serius mempertimbangkan untuk meninggalkan pelayanan pada tahun sebelumnya (mirip dengan temuan Barna), kebanyakan dari mereka melakukannya hanya sekali atau dua kali dalam momen-momen kekecewaan berat yang tidak lazim. Thumma menyimpulkan, “Secara keseluruhan, data kami tidak memberikan banyak bukti tentang tertundanya eksodus pendeta secara besar-besaran.”

Bahkan sebenarnya ada alasan untuk memercayai bahwa biasanya pendeta senior lebih enggan untuk meninggalkan gereja mereka. Sarah Robins, mantan wakil presiden yang menangani relasi klien di firma pencarian pendeta Vanderbloemen, mengatakan bahwa perusahaannya telah bergumul dalam dua tahun terakhir untuk menemukan kandidat pendeta senior yang mau mempertimbangkan posisi pelayanan lainnya. “Gagasan untuk meninggalkan gereja mereka di tengah apa yang sedang kita alami saat ini adalah terlalu berat bagi mereka,” kata Robins.

Angie Ward, asisten direktur program Doctor of Ministry (D.Min.) di Seminari Denver, juga melihat keraguan untuk bertransisi di antara murid-muridnya, di mana kebanyakan dari mereka adalah pendeta senior atau pendeta yang tidak memiliki rekan rohaniwan lain dalam pelayanannya di gereja. “Orang-orang tidak sedang membuat transisi besar, entahkah itu untuk bersekolah atau pindah ke gereja lain. Mereka merasa bahwa mereka tidak berada pada posisi yang cukup stabil untuk pindah,” katanya. “Di antara murid-murid saya, kebanyakan dari mereka berkata, ‘Saya tidak bisa mengambil kuliah D.Min. sekarang ini karena saya perlu lebih dekat dengan jemaat saya.’”

Article continues below

Ketika menyangkut tenaga kerja pelayanan secara keseluruhan, sedikitnya jumlah yang masuk dapat menjelaskan rendahnya angka yang keluar. Di antara seminari-seminari Protestan dan non-denominasi yang merupakan bagian dari Association of Theological Schools (ATS), jumlah pendaftar M.Div. sedikit menurun di tahun ajaran 2020–21. Namun itu bukanlah hal baru—jumlah pendaftar M.Div. sudah cenderung menurun hampir setiap tahun sejak 2013.

Gambaran yang lebih jelas terlihat pada jumlah mahasiswa yang lulus. Penyelesaian gelar M.Div. dan keseluruhan gelar di sekolah-sekolah ATS di AS sama-sama menurun pada tahun 2020–21, dengan hanya gelar teologi umum yang mengalami sedikit peningkatan. Sangat mungkin sebagian mahasiswa menunggu untuk melihat bagaimana pandemi akan berlangsung sebelum menyelesaikan program mereka.

Meskipun kita belum melihat peningkatan yang dramatis dalam jumlah pendeta yang berpindah, banyak orang percaya bahwa hal itu masih akan terjadi. Sean Nemecek menjabat sebagai direktur regional Michigan Barat untuk Pastor-in-Residence Ministries, di mana ia bekerja menjangkau para pendeta yang telah diberhentikan dari gereja mereka. Ia bersiap-siap untuk menghadapi gelombang para pendeta yang akan keluar dari pelayanan dalam satu atau dua tahun ke depan dan telah mengamati adanya pergeseran dalam percakapan yang dia lakukan dengan para pendeta yang ia bimbing.

“Dalam budaya pada umumnya, kami melihat meningkatnya orang-orang yang mengatakan bahwa mereka berharap majikan mereka memperlakukan mereka dengan baik. Gaji yang layak dan adanya waktu istirahat. Fleksibilitas dan bisa bekerja dari rumah,” kata Nemecek. “Sejumlah pendeta mengatakan hal yang sama kepada saya: Mereka lelah karena dibayar rendah atau harus bekerja sampingan untuk mendukung pelayanan.”

Jika gelembung itu pecah di akhir tahun ini atau tahun depan, semua mata akan tertuju pada tiga demografi: pendeta-pendeta di awal karir mereka, pendeta yang hampir pensiun, dan pendeta bivokasional.

Para pendeta muda yang masih baru acap kali diberitahu bahwa lima tahun pertama pelayanan akan menyisihkan mereka yang tidak melayani dengan alasan yang tepat. Beberapa orang menempatkan tingkat gesekan lima tahun setinggi 85 persen. Akan tetapi menurut penelitian-penelitian yang dapat diandalkan memperkirakan bahwa angka tersebut sebenarnya berkisar antara 1 persen hingga 16 persen. (Bandingkan dengan 44 persen guru-guru baru di sekolah negeri dan swasta yang keluar sebelum tahun kelima mereka berakhir.)

Article continues below

Meski demikian, dua tahun terakhir ini telah lebih banyak memangkas para pendeta muda dibandingkan dengan mereka yang sudah mapan. Barna mendapati bahwa pendeta di bawah usia 45 tahun lebih mungkin mempertimbangkan untuk berhenti dari pelayanan penuh waktu (46%) daripada pendeta yang usianya di atas 45 tahun (34%). Dan dalam survei Lifeway Research tahun 2021, dibandingkan dengan para pendeta dengan usia di atas 65 tahun, para pendeta yang berusia 18–44 tahun lebih mungkin untuk setuju bahwa “peran sebagai pendeta sering kali terlalu berlebihan,” bahwa “saya sering merasa jengkel dengan orang-orang di gereja,” dan bahwa jemaat mereka telah mengalami konflik karena alasan politik.

Sebagai bagian dari studi doktoralnya, Prince Raney Rivers, pendeta senior di Union Baptist Church, meneliti kondisi burnout pasca pandemi di antara para pendeta Baptis Afrika-Amerika di North Carolina.

“Saya terkejut bahwa dalam penelitian ini, para pendeta yang lebih muda—mereka yang berusia di bawah 40 tahun—melaporkan adanya sinisme dan rasa tidak dihargai yang lebih besar daripada para pendeta yang lebih tua,” katanya. “Sejumlah gesekan pun terjadi, jadi jika Anda telah mencapai usia 60 atau 65 tahun, maka Anda telah mengatasi masalah itu dan Anda sudah memiliki ketahanan. Mungkin pendeta yang lebih muda kurang sabar dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membuat perubahan dalam sebuah jemaat. Jika Anda berpikir bahwa Anda akan menyelamatkan dunia dalam dua tahun, sedangkan semua orang lainnya membutuhkan tujuh tahun untuk mengenali apa yang perlu diselamatkan, hal itu sungguh tidak akan mudah.”

Rivers melanjutkan, “Saya mendapati khususnya pendeta muda, yang pola pikirnya lebih sebagai seorang aktivis, mungkin merasa diarahkan ke dalam aktivisme itu, tetapi jemaat mereka saat itu mungkin belum siap untuk menjalankan aktivisme tersebut. Hal itu membuat beberapa pendeta berkata, ‘Tahu tidak, saya pikir saya akan merasa lebih bermanfaat jika saya menggunakan karunia dan bakat serta panggilan hidup saya di luar gereja sebab tekanan yang saya dapatkan karena tidak melakukan hal-hal tertentu dari dalam gereja.’”

Namun para pendeta muda bukanlah satu-satunya kelompok yang diidentifikasi Rivers sedang berada di ambang burnout dan pengunduran diri.

Article continues below

“Saya memiliki beberapa teman yang mengatakan kepada saya baru-baru ini bahwa mereka akan pensiun lebih cepat dari yang mereka perkirakan,” katanya.

Pada titik ini, penuaan para pendeta Amerika adalah suatu fenomena yang sudah diakui secara luas. Generasi baby boomer telah bertahan dalam pelayanan lebih lama dari yang diperkirakan, dan kita akan menyaksikan peningkatan yang wajar dalam jumlah pensiunan ketika mereka akhirnya beralih dari peran utama. Namun tekanan dalam dua tahun terakhir ini dapat menyebabkan banyak orang pensiun dini.

Di lembaga Vanderbloemen, Robins ingat bahwa ia sering berbicara dengan para pendeta dari generasi baby boomer yang memutuskan untuk berhenti lebih awal dari yang diharapkan.

Ia ingat seorang pendeta tertentu berusia 60 tahunan. “Dia sangat lelah memimpin gereja itu,” kata Robins. “Beberapa orang pengurusnya berkata kepadanya, ‘Dari mimbar, Anda harus mendukung Trump.’ Dan dia berkata, ‘Itu bukan tugas saya sebagai pendeta.’ Dan mereka berkata, ‘Kalau begitu, kami akan meninggalkan gerejamu.’ Ia punya penatua-penatua yang sangat mendukungnya, tetapi ia tetap sangat kelelahan.”

Antara survei Lifeway Research tahun 2015 dan 2021, jumlah pendeta yang telah pensiun pada dekade sebelumnya naik dari 17 persen menjadi 20 persen. “Itu akan berada dalam batas galat. Namun kami melihat jumlah itu mulai meningkat,” kata McConnell. “Antara 1 dari 5 dan 1 dari 4 pendeta Protestan sudah memasuki usia pensiun. Jika semua dari mereka yang berada di usia pensiun pada tahun tertentu memutuskan untuk pensiun, hal itu akan menciptakan sebuah lubang besar yang tidak dapat diisi.”

Karena Pengunduran Diri Besar-besaran menciptakan lowongan pekerjaan di berbagai sektor, beberapa ahli percaya bahwa pendeta yang memiliki pekerjaan sampingan, pekerjaan “membuat tenda” juga lebih mungkin untuk meninggalkan pelayanan di tahun depan, karena mereka sudah memiliki satu kaki di luar pelayanan.

“Beberapa pendeta yang saya bina memiliki dua pekerjaan (bivokasional),” kata Nemecek, “dan salah satu hal yang saya dengar adalah, ‘Mungkin saya harus menginvestasikan waktu sepenuhnya dalam pekerjaan saya yang lain dan menarik diri sementara waktu dari gereja.’”

Image: Ilustrasi oleh Dadu Shin

Pendeta bivokasional memiliki risiko burnout yang lebih tinggi dari rata-rata jika mereka harus bekerja berjam-jam untuk pekerjaan penuh waktu dan menggembalakan jemaat. Curtis Dunlap, pendeta yang melayani para pasutri di Epiphany Fellowship Church di Philadelphia, mengatakan bahwa posisi staf penuh waktu tidaklah lazim di gereja yang sebagian besar jemaatnya berkulit hitam. “Sebagian besar pendeta yang saya kenal di perkotaan yang melayani orang kulit berwarna adalah pendeta bivokasional,” katanya.

Article continues below

Dunlap menunjukkan bahwa lebih sulit bagi para pendeta bivokasional untuk menjadwalkan liburan atau cuti panjang. “Pendeta seperti saya yang melayani penuh waktu memiliki lebih banyak fleksibilitas untuk mengendalikan jadwal kami,” katanya. “Terkadang dalam budaya gereja, jika gembala jemaat tidak berkhotbah, banyak orang yang tidak hadir. Hal ini menimbulkan banyak tekanan—terutama di gereja yang lebih kecil di mana Anda harus memikirkan bagaimana hal itu akan memengaruhi jumlah persembahan dari minggu ke minggu, dan terutama di musim panas ketika jumlah persembahan sudah pasti menurun.”

Kondisi burnout, keputusasaan, dan kelelahan emosional dapat menghancurkan para pendeta dan jemaat jika tidak ditangani. Bahkan jika sebagian besar dari 38 persen pendeta yang mempertimbangkan untuk berhenti dari pelayanan penuh waktu tahun lalu itu tidak pernah benar-benar berhenti, kita masih harus bertanya mengapa angka tersebut meningkat begitu cepat pada tahun 2021. Mungkin yang seharusnya menjadi keprihatinan terbesar kita bukanlah pada mimbar-mimbar yang kosong, melainkan kepada para pendeta kosong yang berdiri di mimbar tersebut.

Jonathan Dodson memiliki satu kata untuk menggambarkan pengalamannya dalam pelayanan selama dua tahun terakhir: “menyiksa.”

“Saya berpikir untuk berhenti beberapa kali,” katanya. “Masukkan saya ke dalam 38 persen itu.”

Tuhan menangkap hati Dodson pada usia tujuh tahun. Dia membaca biografi misionaris dan mencoba untuk bertemu dengan para misionaris ketika mereka datang ke kota. “Itu adalah cara Tuhan yang berdaulat, menanamkan suatu semangat misi dalam hati saya,” katanya. Ketika dewasa, Dodson merintis City Life Church di pusat kota Austin, Texas.

Namun, pada tahun-tahun menjelang pandemi, antusiasme pelayanan Dodson terpukul oleh serangkaian peristiwa yang melelahkan, dimulai dengan sebuah pertemuan yang sangat menyedihkan. Sebelum istilah-istilah seperti social distancing (pembatasan jarak sosial) atau coronavirus (virus corona) masuk ke dalam kosakata Amerika, Dodson duduk bersama pasangan suami istri berusia 50 tahunan. Mereka adalah para mentor di gerejanya. Mereka menghubungi Dodson untuk menceritakan kepadanya bahwa mereka sudah tidak percaya Tritunggal lagi.

Article continues below

Pada pertemuan itu, mereka yang dikenal Dodson sebagai orang-orang yang hangat dan mencintai Alkitab selama bertahun-tahun kini berubah menjadi sedingin es dan beku. “Ketika saya meminta sang pria untuk berdoa,” kata Dodson, “dia seakan menancapkan saya ke dinding dengan belati di matanya.” Pasangan tersebut telah mengenal seorang rabi di internet yang bertujuan untuk membuat orang-orang Kristen meninggalkan iman (deconvert) mereka. “Mereka pun menelan mentah-mentah semua ajarannya.”

Itu adalah pengalaman pertama dari serangkaian percakapan dengan para anggota jemaat yang meninggalkan iman mereka. “Bagi pendeta, itu adalah salah satu hal yang paling menyedihkan—melihat orang-orang yang mereka kasihi meninggalkan Sang Mesias,” kata Dodson. “Hal itu memilukan hati.”

Kemudian terjadilah karantina COVID-19, yang semakin menghancurkan semangatnya. “Dari Minggu ke Minggu, Anda berkhotbah di depan kamera yang dingin dan gelap alih-alih kepada orang-orang yang hidup dengan jantung yang berdetak di hadapan Anda,” katanya.

Setelah pemilihan presiden 2020, Dodson melihat peningkatan kritik dari anggota-anggota jemaat yang cenderung berhaluan kiri secara politik. “Kami adalah gereja yang berpusat pada Injil,” katanya. “Kami peduli dengan keadilan, keadilan rasial. Kami telah bertumbuh dalam ekspresi kami tentang hal tersebut, tetapi kelompok ini menjadi sangat kritis. Ada banyak sekali kritik. Surel tiga halaman. Amarah. ‘Kenapa Anda tidak melakukan ini?’ ‘Kenapa Anda tidak melakukan itu?’ Kemudian orang-orang pun mulai meninggalkan gereja.”

Secercah harapan terlihat ketika pandemi tampak mereda dan City Life Church mulai berkumpul lagi secara tatap muka. Namun kemudian muncullah varian delta. Kali ini, kritikan datang dari kelompok sayap kanan, dan targetnya adalah masker.

“Kami menyewa fasilitas di tengah kota. Kami sudah memakai tempat itu selama 10 tahun, dan kami harus mematuhi kebijakan mereka,” kata Dodson. “Kami menerima email aneh dari orang-orang yang sudah kami kenal selama 10 tahun. Saya telah memimpin upacara penyerahan anak-anak mereka. Saya sudah membimbing mereka, menemani mereka melewati masa-masa sulit, dan tiba-tiba mereka berkata: ‘Jika kami harus memakai masker, maka kami keluar dari sini.’

Article continues below

“Padatnya pertemuan-pertemuan semacam itu dalam dua tahun terakhir sangat menciutkan hati dan melelahkan,” katanya. “Salah satu hal yang sangat sulit bagi para pendeta di seluruh negeri adalah bahwa peran kami cenderung dianggap seperti sesuatu yang hanya sekali pakai lalu dibuang. Acap kali kita menghargai para pendeta ketika mereka memberi apa yang kita butuhkan atau inginkan, tetapi ketika kita pikir kita membutuhkan sesuatu yang lain, tiba-tiba mereka kita perlakukan dengan tidak manusiawi. Para pendeta menjadi seperti komoditas agama yang dapat diberhentikan kapan saja.”

Dan kemudian, di atas segalanya, fasilitas yang disewa City Life Church pun menendang mereka keluar.

“Suatu hari saya sedang berjalan menuju gereja,” kata Dodson, “dan saya merasa ada sesuatu yang putus di dalam diri saya, seperti karet gelang yang diregangkan terlalu jauh. Saya pun menjadi terpisah secara emosional dari gereja. Rasanya seperti segala persediaan yang saya miliki sudah habis. Pemikiran bahwa saya berjalan menuju ruangan yang penuh dengan orang-orang Kristen yang harus saya gembalakan sangatlah mengerikan. Saya tidak pernah mengalami hal seperti itu sebelumnya.”

Keputusasaan dan pemikiran untuk meninggalkan pelayanan bukanlah hal yang aneh dalam kehidupan seorang pendeta. Charles Spurgeon menggambarkannya sebagai “pelayan Tuhan yang lemah lesu.” Ia menulis, “Tidak perlu mengutip dari biografi para pelayan Tuhan yang ternama untuk membuktikan masa-masa terpuruk yang menakutkan yang telah menghinggapi sebagian besar pelayan Tuhan, jika bukan semuanya.”

Eugene Peterson, merenungkan penggembalaannya di Christ Our King Presbyterian Church, berkata, “Sejak saya melayani di sini, saya ingat setidaknya tiga kali saya pernah siap untuk mengundurkan diri.” Dalam salah satu episode itu, ketika ia dalam perjalanan untuk menghibur keluarga dari seorang wanita yang tewas dalam kecelakaan mobil, Peterson berpikir, “Tuhan, saya tidak bisa melakukan ini. Saya tidak ingin menjadi pendeta lagi. Saya tidak bisa masuk ke dalam penderitaan berat lagi. Atau kalaupun saya bisa, saya tidak mau. Saya hanya tidak ingin melakukan hal ini lagi.”

Namun demikian, hal yang tidak lazim dari situasi sekarang ini adalah besarnya jumlah pendeta yang ingin meninggalkan pelayanan secara bersamaan di seluruh AS dan lintas demografi serta tradisi.

Article continues below

Akan tetapi mengenai apakah semua pendeta itu benar-benar akan meloncat keluar, dalam arti tertentu, tidaklah terlalu penting dibandingkan dengan memahami mengapa mereka sangat ingin keluar. Ketika begitu banyak pendeta sedang patah semangat atau burnout, ironisnya, sangatlah tidak pastoral untuk terpaku pada pertanyaan apakah kekurangan tenaga kerja dalam pelayanan sedang memanas.

Sebaliknya, kita seharusnya bertanya, Apa yang terjadi dengan para pendeta kita? Kita seharusnya menanyakan demikian karena kita peduli, tentunya. Akan tetapi ada lebih banyak hal yang dipertaruhkan daripada sekadar soal pemimpin.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kepemimpinan yang tidak sehat sering kali mengarah pada organisasi yang tidak sehat. Rivers, pendeta Carolina Utara, berkata, “Jika pendetanya kurang tersedia, jika mereka mundur, hal itu akan menyebar dan menyebabkan berkurangnya antusiasme terhadap visi dan misi gereja. Hal ini mungkin akan menyebabkan konflik yang lebih besar dan cara-cara yang kurang sehat untuk mengelola konflik.”

Namun ada risiko yang lebih mengerikan yang menyertai burnout: “Kondisi burnout membuat seorang pendeta rentan terhadap segala macam kegagalan etika dan moral,” kata Rivers. “Semakin Anda kelelahan secara emosional, Anda akan semakin rentan untuk mengambil keputusan-keputusan yang tidak akan Anda buat ketika Anda dalam kondisi dan kerangka berpikir yang lebih sehat.”

Nemecek juga telah melihat banyak hal yang sama dialami para pendeta yang ia bimbing.

“Banyak kegagalan moral dan pelecehan rohani yang kita lihat dalam gereja saat ini memiliki dasar dalam budaya di mana para pendeta itu melayani,” katanya. “Saat saya berbicara dengan para pendeta yang pernah mengalami kegagalan moral, mereka tidak memulai sebagai pemangsa rohani. Mereka mendapati diri mereka berada di tempat di mana mereka mencari semacam afirmasi dan berakhir dengan godaan seksual atau jenis kegagalan moral lainnya karena hal tersebut.”

Para pemimpin pelayanan yang kedapatan berselingkuh acap kali memakai alasan bahwa mereka merasa berhak mendapat sedikit kesenangan setelah kerja keras mereka untuk gereja tidak mendapat pengakuan. Meskipun bukan seorang pendeta, Ravi Zacharias, menurut laporan memakai logika ini untuk membenarkan pelecehan seksual yang dilakukannya. Berdasarkan investigasi CT, dia memberi tahu seorang wanita bahwa “Tuhan mengerti apa yang telah ia korbankan dan secara tidak langsung menyiratkan bahwa perbuatan seksual yang ia lakukan adalah cara Tuhan untuk menghadiahi dia.”

Article continues below

Robins mengatakan bahwa di Vanderbloemen, “Hampir setiap kali kami berjalan masuk ke sebuah gereja dan menolong mereka mendapatkan pendeta pengganti setelah terjadi kegagalan moral, hal itu selalu ada kaitannya dengan kelelahan ekstrem yang dialami oleh pendeta senior. Kelelahan ekstrem tersebut memang tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan perilaku yang buruk, tetapi ada korelasinya. Bahkan juga secara keuangan—‘Saya lelah. Saya layak menghabiskan uang sebanyak ini untuk hal-hal tertentu karena semua yang sudah saya lakukan bagi gereja ini.’”

Tentu tidaklah bijaksana untuk menghubungkan semua pelecehan rohani dan kegagalan moral dalam pelayanan dengan kelelahan secara emosional, tetapi jika kita mempertimbangkan bagaimana burnout dapat mendatangkan malapetaka bagi gereja, maka hal-hal tersebut seharusnya menjadi pertimbangan yang teratas dalam daftar kita.

Image: Ilustrasi oleh Dadu Shin

Kondisi burnout itu seperti sebuah panci presto. Tekanan terus meningkat perlahan-lahan, dan tanpa adanya semacam katup udara, temperatur keputusasaan menjadi tak tertahankan. Dalam artikelnya di Atlantic, Derek Thompson menulis, “Walau aneh kedengarannya, tetapi saat ini sedang terjadi peningkatan burnout yang dilaporkan sendiri oleh para pekerja di industri-industri di mana kecil kemungkinannya bagi para pekerja untuk berhenti.” Dan pelayanan pastoral bukanlah pekerjaan di mana orang-orang sering berhenti.

Alasan untuk hal ini banyak dan kompleks. “Tidak banyak pekerjaan yang begitu mendalam seperti pelayanan pastoral,” kata Ward di Denver Seminary. “Ada makna panggilan yang mendalam dari Tuhan dan kepada umat Tuhan. Ini bukanlah sesuatu yang bisa Anda singkirkan begitu saja dan beralih ke asuransi.”

Ada banyak alasan mengapa para pendeta bertahan terlalu lama: rasa kewajiban, atau kepemilikan yang tidak sehat, atau salah mengartikan tugas yang diberikan Tuhan. Pergumulan keuangan juga dapat membuat pintu keluar tetap dikunci ketika pendeta-pendeta mendekati masa pensiun.

Dalam sebuah laporan di tahun 2017 tentang tantangan ekonomi yang dihadapi para pemimpin pastoral, C. Kirk Hadaway dan Penny Long Marler menulis, “Dalam sebagian besar survei yang dilakukan oleh proyek-proyek di lembaga National Economic Initiative, tabungan pensiun adalah masalah keuangan paling serius yang diungkapkan oleh para pendeta.” Di seluruh AS, gaji pendeta relatif rendah, dan tunjangan pensiun sering kali tidak ada.

Article continues below

Ketika Nemecek sendiri mengalami masa burnout dan keluar dari pelayanan jemaat, ia menemukan alasan lain mengapa banyak pendeta merasa sulit untuk pergi, sekalipun hanya untuk satu musim saja.

“Ada begitu banyak stigma,” katanya. “Orang-orang berasumsi bahwa setiap kali seorang pendeta berkata, ‘Saya berhenti dari pelayanan,’ mereka pasti memiliki dosa rahasia, atau tidak dapat mengatasinya, atau tidak pernah benar-benar terpanggil sejak awal. Namun ketika Anda benar-benar duduk dan bertanya, ‘Apa yang terjadi?’ sering kali, mereka sebenarnya sedang membuat langkah-langkah yang sangat kuat dalam iman mereka kepada Kristus.”

Dodson mengatakannya seperti ini: “Hanya karena Anda kehilangan kekuatan untuk mengerjakan pelayanan, bukan berarti Anda berada dalam dosa. Bahkan sangat mungkin sebenarnya orang lainlah yang telah berbuat dosa terhadap Anda.”

Kekuatan dari dalam maupun dari luar menarik para pendeta—dan ini bukanlah hal baru di dalam gereja. Pada tahun 1589, seorang reformator asal Jenewa berusia 70 tahun, Theodore Beza, menghadapi banyak tantangan terbesar dalam masa pelayanannya yang panjang.

Kesehatannya semakin menurun, namun tugasnya tampak lebih berat dari sebelumnya. Dia melakukan pelayanan pastoral untuk situasi yang mengerikan seperti tukang sepatu yang menuntut bercerai dari istrinya yang telah diperkosa oleh para tentara dan kemungkinan telah hamil. Dan Beza masih diharapkan untuk berkhotbah beberapa kali dalam seminggu dan memberikan kuliah teologi di Akademi Jenewa.

“Ingatlah untuk berdoa lebih banyak lagi bagi temanmu Beza seraya dia menatap akhir perjalanannya,” tulisnya kepada seorang teman. “Meskipun saya lelah, Tuhan tidak pernah memberi saya beban yang lebih berat untuk saya pikul.”

Image: Ilustrasi oleh Dadu Shin

Tahun berikutnya, ia bertanya kepada dewan kependetaan di Jenewa apakah dia bisa mundur dari kewajiban pelayanannya. Scott M. Manetsch menulis, “Para pendeta Jenewa itu setuju untuk membebaskan dia dari tanggung jawab khotbah harian, tetapi bersikeras agar dia melanjutkan pengajaran kuliahnya di akademi dan tetap berkhotbah di hari Minggu. Jenewa memiliki terlalu sedikit pendeta dan profesor untuk memberi kelonggaran bagi sang reformis yang sudah tua itu.”

Bahkan jika mengingat sejarahnya, sesuatu yang berbeda sedang terjadi saat ini. Tekanan yang dihadapi para pendeta terasa lebih besar dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Survei Thumma mendapati bahwa dua pertiga pendeta menyebut tahun 2020 sebagai “tahun tersulit dalam pengalaman pelayanan mereka.”

Article continues below

COVID-19 mungkin terlihat sebagai penyebab utama. Namun tidak ada satupun dari pendeta yang diwawancarai untuk hal ini yang mengidentifikasi pandemi sebagai penyebab utama burnout mereka. Memang pandemi ini menguras cadangan spiritual dan emosional mereka, tetapi tidak sampai memukul telak. Kondisi burnout itu berasal dari pengganggu budaya lain—beberapa baru-baru ini, beberapa berasal dari dekade yang lalu—yang mengganggu hubungan mereka dengan jemaat. Ketika hal-hal tersebut termanifestasikan dengan cara yang buruk dan brutal, banyak pendeta tidak lagi memiliki ketabahan untuk bertahan.

Ukuran yang paling banyak digunakan untuk burnout adalah Maslach Burnout Inventory, yang dikembangkan oleh Christina Maslach dan Susan E. Jackson. Pengukuran ini mengukur tiga faktor: kelelahan emosional, sinisme atau depersonalisasi, dan persepsi diri tentang efikasi profesional.

Kebanyakan orang mengasosiasikan burnout hanya dengan kelelahan, tetapi menurut Rivers, “Setiap individu berbeda. Sebagian orang dapat mengalami kelelahan emosional yang tinggi dan kepuasan yang benar-benar tinggi dalam pelayanan. Mereka lelah tetapi tidak burnout.” Jadi burnout adalah ancaman yang lebih besar bagi para pendeta yang letih lesu, yang juga memiliki tingkat sinisme yang tinggi dan rendahnya efikasi profesional.

Hal-hal seperti apa yang dapat meningkatkan sinisme pendeta dan menurunkan kepuasan mereka dalam pelayanan? Barna mengidentifikasi “kurangnya komitmen di antara orang-orang awam” sebagai frustrasi yang dianggap paling buruk oleh sebagian besar pendeta (35%). “Apati orang-orang dan kurangnya komitmen” juga menempati urutan teratas dalam penelitian Lifeway Research yang menanyakan para pendeta tentang kebutuhan terbesar yang mereka hadapi.

Digitalisasi pelayanan gereja, yang dipercepat oleh pandemi, telah memutarbalikkan keadaan tersebut. Para pendeta lokal pernah mengeluhkan preferensi jemaat terhadap khotbah-khotbah tanpa orang sejak Paul Rader pertama kali mengkhotbahkan pesan Injil dari sebuah stasiun radio darurat di atap Balai Kota Chicago pada tahun 1922.

Akan tetapi sejak pandemi, perdebatan tentang khotbah di hadapan orang versus khotbah impersonal menjadi sangat pelik. Untuk pertama kalinya, karena menjamurnya kebaktian yang disiarkan secara langsung maupun yang direkam baru-baru ini, para pendeta lokal harus bersaing ketat dengan para pengkhotbah tak dikenal dari negara-negara bagian lain.

Article continues below

Glenn Packiam, pendeta senior di New Life Church di Colorado Springs dan penulis The Resilient Pastor, menceritakan kisah seorang pengunjung gereja yang mengkonfrontasinya tentang masker wajahnya.

“Dia memberi tahu saya tentang seorang pendeta lain di Texas yang khotbahnya baru saja dia dengarkan mengenai bagaimana semua ini adalah upaya pemerintah untuk menciptakan krisis palsu sehingga mereka dapat semakin berkuasa,” kata Packiam. “Dia mendengarkan seorang pendeta yang tidak mengenal namanya dan tidak membaptis anak-anaknya, dan dia memakai khotbah di YouTube itu untuk menegur saya, pendeta di gerejanya sendiri.”

Bahkan ketika mandat tentang pemakaian masker telah mereda di Amerika Serikat, para pendeta akan tetap mengingat kekacauan yang sudah mereka tabur selama tahun-tahun mendatang. Sebagian orang bergurau bahwa masker menjadi pengganti perselisihan tentang warna karpet baru bagi gereja-gereja.

Namun Packiam merasa perpecahan yang mereka sebabkan mungkin ada akar sejarahnya. “Memakai masker adalah pengulangan terbaru dari budaya pseudo-religius kita,” katanya. “Seratus tahun yang lalu, perpecahannya adalah antara gereja arus utama dan kaum Injili, serta ada juga tentang Injil Sosial. Jika Anda pro-penginjilan, maka Anda adalah gereja konservatif, dan jika Anda lebih menginginkan untuk memberi makan orang yang lapar, maka Anda pastilah liberal. Pengulangan terbarunya saat ini adalah ‘Jika Anda pro-masker, maka Anda pasti liberal secara politik dan mungkin juga secara teologis; dan jika Anda anti-masker, maka Anda pasti konservatif secara politik dan teologi.’”

Masalah mendasar yang menyebabkan para pendeta sekarang ini sangat cemas bukanlah soal keberadaan teknologi siaran atau kebijakan tertentu tentang masker. Ini adalah soal berkurangnya kepercayaan jemaat. “Ada sebuah kenyataan yang menyedihkan bahwa kita tidak hidup di zaman ketika orang akan berkata, ‘Pendeta saya mengatakan bahwa kita perlu memakai masker untuk melindungi mereka yang rentan, jadi kita akan melakukannya.’ Keadaannya sudah tidak seperti itu lagi,” kata Packiam.

Semakin banyaknya skandal pendeta tenar belakangan ini juga bukanlah hal yang membantu; rasa percaya orang-orang Amerika terhadap pendeta sudah semakin jatuh selama beberapa waktu. Gallup menanyakan orang-orang setiap tahun tentang tingkat kepercayaan mereka terhadap berbagai profesi. Pada tahun 2012, lebih dari separuh responden menilai pendeta “tinggi” atau “sangat tinggi” dalam hal kejujuran dan etika. Pada tahun 2018, angka tersebut turun menjadi lebih dari sepertiganya.

Article continues below

Yang lebih memprihatinkan di tahun 2018 adalah, bahkan di antara orang Kristen Amerika—yaitu orang-orang yang membayar gaji pendeta—hanya 42 persen yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi pada pendeta.

Dengan kata lain, apakah jemaat memercayai pendeta lokal untuk memikirkan kepentingan terbaik bagi jemaatnya, untuk mengerjakan tugas teologis dan alkitabiah mereka, serta untuk menggembalakan jemaat dengan baik bahkan ketika mereka tidak setuju pada satu atau dua masalah sosial?

Jawabannya, yang semakin meningkat, adalah tidak.

Dan ketika kepercayaan pada pendeta berkurang, jumlah kritik yang mereka terima dari jemaat gereja juga meningkat, kata Nemecek. “Ketika saya pertama kali memulai pelayanan di awal tahun 2000-an, mungkin dua atau tiga hari setelah Anda menyampaikan khotbah, seseorang akan menghampiri Anda [dengan masukan yang kritis]—bahkan mungkin beberapa minggu. Sekarang hanya dalam hitungan detik. Anda mungkin menerima sebuah pesan teks pada hari yang sama atau bahkan saat Anda sedang berkhotbah.”

Image: Ilustrasi oleh Dadu Shin

Packiam khawatir kita tidak melihat masalah sebenarnya yang lebih luas karena terlalu berfokus pada detail persoalan tentang kesehatan pelayanan.

“Kebutuhan yang lebih besar bukanlah untuk mengatakan, ‘Astaga, kita perlu mengangkat pendeta-pendeta baru untuk mengisi kekosongan yang ada.’ Kebutuhannya adalah untuk menguatkan dan membantu para pendeta agar menjadi tangguh.” Apa yang dapat dilakukan gereja untuk membantu para pendeta membangun ketabahan rohani dan mendukung mereka di masa-masa krisis?

Masuk akal jika jemaat gereja yang ingin mendukung pendeta saat ini harus meningkatkan jumlah kata-kata afirmasi yang mereka berikan untuk mengimbangi kata-kata yang mengecewakan hati. Dan memang seharusnya demikian. Akan tetapi 90 persen pendeta sudah mengatakan bahwa keluarga mereka secara teratur menerima penguatan yang tulus dari gereja, menurut Lifeway Research. Ketika afirmasi bersenandung, kritik pun memekik.

“Mari kita menjadi bintang yang konsisten; mari kita tinggal di langit sedikit lebih lama.” Glenn Packiam

Menurut Nemecek, “Seorang pendeta yang saya ajak bicara beberapa bulan lalu benar-benar merasa putus asa dengan apa yang sedang terjadi dan berpikir untuk berhenti. Saya berkata, ‘Coba ceritakan, hal-hal baik apa saja yang terjadi baru-baru ini?’ Dia berpikir sejenak lalu berkata, ‘Oh, saya membaptis 30 orang minggu lalu.’ Itu banyak sekali! Dia mengalami minggu yang sulit dengan begitu banyak kritikan tajam sehingga dia bahkan tidak dapat mengingat hal-hal positif yang terjadi sebelumnya.”

Article continues below

Sebuah tepukan di pundak atau perkataan “Khotbahnya bagus, Pak Pendeta!” tidak akan cukup untuk mengimbangi krisis yang dihadapi oleh banyak pendeta.

Ketika Jonathan Dodson tiba-tiba mengalami burnout dalam pelayanan, ia langsung menemui para penatua dan menjelaskan situasinya kepada mereka.

“Mereka berkata, ‘Mari kita berkabung bersama-sama. Mari kita berduka. Kami tahu dua tahun ini sangatlah berat,’” katanya.

Seperti kebanyakan pendeta lainnya, Dodson terkejut dengan tanggapan seperti itu. Yang sering kali terjadi, mereka takut terhadap tanggapan yang akan ia dengar beberapa saat kemudian. “Saya bertemu dengan sekelompok pendeta yang makan siang bersama saya setiap enam minggu, dan saya menceritakan kisah pengalaman berkabung bersama itu. Lalu pendeta yang paling bijaksana dan tertua di ruangan itu berkata, ‘Saya tidak percaya mereka menjawab seperti itu. Para penatua saya justru mungkin akan menegur saya.’”

Naluri pertama kita, ketika melihat seorang pemimpin gereja bergumul, mungkin kita akan melompat untuk menyelamatkannya dengan mengusulkan buku atau rekomendasi tentang manajemen waktu. Namun pendeta yang sedang mengalami kemunduran membutuhkan sesuatu yang lebih mendalam.

“Kita hidup dalam budaya yang ingin segera memperbaiki segala sesuatu,” kata Dodson. “Kalau ada yang rusak, kita berpikir, _Bagaimana caranya agar sehat lagi? Bagaimana supaya berfungsi kembali?_ Kategori ratapan menjadi sangat tidak efisien. Itu tidak produktif.”

Tim kepemimpinan Dodson tahu bahwa kebutuhan terbesar pada momen seperti itu bukanlah agar membuatnya kembali berkhotbah secepatnya. Lukanya dalam, dan dia butuh waktu untuk sembuh. Jadi mereka segera memberinya cuti sabatikal. Tidak ada agenda. Tidak ada ikatan. Hanya sebuah janji untuk mengambil waktu memproses dua tahun sebelumnya tanpa tumpukan beban kepemimpinan jemaat di pundaknya.

“Beberapa minggu pertama adalah minggu-minggu ratapan, tangisan spontan, terkadang harus menepi sejenak karena air mata mengalir begitu cepat dan deras. Rasanya tidak mampu berjalan ke gereja. Merasa lumpuh dan harus duduk di parkiran selama 30 menit dan kemudian menyelinap masuk lewat belakang,” katanya.

Article continues below

“Kemudian saya memasuki fase kedua. Saya pergi ke pegunungan Rockies di Colorado. Bagi saya, keindahan alam itu menyembuhkan dan memberi kekuatan baru. Selama beberapa hari saya berdiam diri, dan itu sangat luar biasa.”

Dodson menemukan kelegaan melalui Yesaya 53 dan kitab Ratapan. “Dalam Ratapan 3, ada sebuah argumen panjang yang pada dasarnya berbicara tentang kesedihan dan kepahitan dari penderitaan [Yeremia]. Pasal ini sampai pada bagian yang kita kenal tentang rahmat yang baru setiap pagi setelah [lebih dari] 10 ayat tentang penderitaan. Namun setelah itu, ia berkata, ‘adalah baik.’ Tuhan adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya; Tuhan adalah baik bagi mereka yang menanti dengan diam pertolongan Tuhan.”

Pesan dan waktu bersama Tuhan inilah yang dibutuhkan Dodson. “Dalam keheningan dan penantian itulah pemulihan mulai terjadi, di mana saya tidak dibebani tanggung jawab atas jemaat, lalu kesedihan pun mulai menghilang.”

Hikmah dari semua pengalaman ini adalah bahwa tahun-tahun belakangan ini telah memberikan penekanan terhadap kebutuhan para pendeta untuk memprioritaskan keberlanjutan daripada kegigihan.

“Ketika saya pertama kali memulai pelayanan,” kata Nemecek, “beberapa pendeta senior yang membimbing saya telah diajari hal-hal seperti: Jika mereka memelihara gereja, maka Tuhan akan memelihara keluarga mereka. Dan generasi saya melihat hal itu runtuh dan para pendeta ini menderita karena keluarga yang hancur dan berbagai masalah karena kurang memperhatikan diri sendiri.”

Packiam pun membagikan kisah serupa. “Ada beberapa pensiunan pendeta di jemaat saya yang berkata kepada saya, ‘Di zaman saya dahulu, Anda harus berkhotbah 50 atau 52 Minggu dalam setahun, dan jika tidak, jemaat akan bertanya-tanya ada masalah apa; ke mana Anda pergi?’” ujarnya. “Saya dibesarkan dengan kisah-kisah misionaris radikal tentang orang-orang yang pindah ke negara lain dan meninggalkan keluarga mereka serta menjadi bintang jatuh—mereka terbakar dengan cepat. Namun kami telah beralih dari paradigma tersebut untuk bisa berkata, ‘Mari kita menjadi bintang yang konsisten; mari kita tinggal di langit sedikit lebih lama.’”

Tren menuju keberlanjutan ini muncul dalam data. Dalam sebuah artikel yang merefleksikan penelitian Lifeway Research tahun 2021, Scott McConnell menulis, “Semakin sedikit pendeta yang setuju bahwa mereka harus selalu ‘siap siaga’ 24 jam sehari, menurun dari 84% menjadi 71%. Mungkin lebih tepatnya, mayoritas pendeta (51%) sangat setuju dengan ekspektasi ini pada tahun 2015, sementara hanya sepertiga (34%) yang sangat setuju dengan kewajiban tersebut pada masa kini.”

Article continues below

Pendeta tidak memiliki sumber kekuatan rohani yang khusus untuk ditimba, tidak ada alat rahasia untuk memperkuat ketabahan rohani mereka melebihi dari apa yang kita miliki. Sangat mudah bagi kita untuk melupakan bahwa gembala-gembala bawahan Kristus tetaplah merupakan domba di dalam kawanan-Nya. Jika kita memperlakukan pendeta seperti pahlawan super rohani, kita tidak menolong mereka. Superman tidak perlu melakukan push-up, tetapi pendeta masih tetap membutuhkan izin dan ruang untuk melakukan latihan rohani mereka: waktu berdiam bersama Tuhan, waktu berdoa, waktu untuk merenungkan Kitab Suci di luar persiapan khotbah, waktu dengan pembimbing dan konselor rohani serta pendeta lainnya yang memahami apa yang sedang mereka hadapi.

Akankah para pendeta akhirnya bergabung dalam Pengunduran Diri Besar-besaran? Jawabannya mungkin tergantung pada kita. Ward percaya bahwa pandemi “menyingkapkan kesenjangan antara pendeta dan jemaat mengenai siapa yang seharusnya memikul beban dalam hal pelayanan dan kepemimpinan pastoral, bukan hanya sekadar memimpin program-program.”

Impian Ward adalah melihat para pendeta berhenti memikul semua beban gereja seorang diri. Lagi pula, gereja yang jemaatnya diperlengkapi dan ditugaskan dalam pelayanan memiliki peluang yang lebih baik, bukan hanya untuk mempertahankan pendeta mereka, melainkan juga untuk tetap melanjutkan dengan kuat jika pendetanya berhenti dari pelayanan. “Bagaimana orang awam dapat memikul beban untuk merawat dan melayani? Semoga kita semakin melihat peningkatan dalam pelayanan setiap anggota jemaat,” katanya.

Sebagai penutup, Dodson menambahkan satu hal lagi yang dibutuhkan para pendeta saat ini dari orang-orang di gereja mereka: “undangan makan siang yang tanpa ancaman.”

Dia menceritakan kisah tentang saat-saat menjelang ia mengalami burnout. “Saya sangat terkejut, jadi ketika saya mendapat undangan makan siang, saya langsung bertanya, ‘Apakah ini keadaan darurat? Apakah ada sesuatu yang perlu saya ketahui?’ Saya rasa orang-orang tidak menyadari berapa banyak pertemuan-pertemuan semacam itu yang dialami oleh pendeta mereka. Jika Anda seorang anggota jemaat gereja yang peduli, ajaklah pendeta Anda makan siang atau minum kopi dan beri tahu dia, ‘Saya hanya ingin memberi semangat kepada Anda dan mengungkapkan rasa terima kasih saya untuk Anda.’ Hal itu akan sangat berarti bagi para pendeta.”

Article continues below

Kyle Rohane adalah editor akuisisi di Zondervan Reflective di Grand Rapids, Michigan. Sebelumnya, beliau adalah editor CT Pastors di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Kalvin Budiman.

[ This article is also available in English Français 简体中文, and 繁體中文. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]