Unduh Renungan Prapaskah

Pada usia lima tahun, saya merumuskan istilah memento mori versi saya sendiri. Ini benar-benar sebuah kebetulan—tidak ada latar belakang yang khusus selain dari seorang anak (adopsi) yang penasaran berjuang untuk memahami keberadaannya. Pengalaman itu selalu terkenang karena sangat traumatis. Anda dapat membayangkan sendiri apa yang terjadi ketika seorang anak berbaring di tempat tidurnya dan menatap ke dalam kegelapan sambil mengulangi kalimat, “selamanya, dan selama-lamanya, dan selama-lamanya, dan selama-lamanya, dan selama-lamanya...”

Jika skenario itu membuat Anda merasakan sedikit simpati, terima kasih. Saya jadi jengkel sendiri sampai histeris, melompat dari tempat tidur dan berlari ke bawah dan ke dalam pelukan ibu saya yang khawatir. Saya tidak dapat ditenangkan, terus mengoceh tentang “selama-lamanya” dan “keabadian.” Walaupun beberapa kali di awal kejadian membuat saya dan ibu merasa khawatir, akhirnya ini menjadi kebiasaan. Jadi, dengan latar belakang acara televisi Andy Griffith, ibu saya akan mencoba menjawab satu-satunya pertanyaan saya: “Apa yang terjadi ketika kita mati?” Sebagaimana para ibu mana pun yang sayang pada anaknya, dia akan menyebut “surga” dan “Tuhan” dan “menjadi orang baik” dan seterusnya sampai saya akhirnya tenang dan kembali ke tempat tidur. Namun, tidak peduli seberapa keras dia berusaha, saya tidak pernah mendengar jawaban yang benar-benar memuaskan kuatnya percampuran rasa takut dan rasa ingin tahu saya.

Syukurlah, 'perjalanan' saya ke lantai bawah mereda seiring berjalannya waktu, tetapi obsesi saya terhadap pertanyaan itu tidak. Sampai hampir dua dekade kemudian saya menemukan jawaban yang saya cari. Ternyata inilah yang selama ini ingin disampaikan oleh ibu saya: pemahaman yang tepat tentang kematian tidak diragukan lagi terkait dengan konsep tentang Tuhan dan surga dan Alkitab—hanya saja perlu banyak pencarian untuk memahami seluk-beluknya.

Faktanya adalah orang akhirnya mati, mimpi mati, cinta mati, kebiasaan mati, hewan mati, tumbuhan mati, bahkan tokoh utama mati. Kematian itu esensial: “Bunuh kesayanganmu” kata penulis William Faulkner, “Kematian tersenyum pada kita” kata para pejuang Gladiator, “Sampai maut memisahkan kita” kata para kekasih di hari pernikahan mereka. Kematian memainkan peran yang penting dalam setiap aspek kehidupan, jadi mengapa umat manusia begitu penuh perjuangan untuk menghadapi memento mori, atau, kematian kita yang tak terhindarkan?

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Meski demikian, ironisnya adalah sementara kita mungkin lari dari kenyataan akan kefanaan diri kita sendiri, kita terobsesi dengan kematian. Kematian dalam dunia hiburan adalah bisnis yang besar. Kita terpikat oleh cerita tentang pembunuh berantai, pembunuh bayaran, vampir, mayat hidup, perang—apa pun yang berhubungan dengan kematian, baik di buku atau di layar TV, dan kita terpikat olehnya. Setiap kita memiliki rasa ingin tahu yang tidak wajar, yang memicu dorongan alam bawah sadar yang mendalam untuk mencari jawaban tentang kematian tanpa henti. Paradoksnya terletak pada kenyataan bahwa jika percakapannya adalah tentang kematian kita sendiri atau kematian seseorang yang kita cintai, kita menghindari topik itu, tetapi jika kita berbicara tentang kematian orang lain, kita tidak dapat berpaling.

Ketertarikan dan penghindaran terhadap kematian tidak hanya terjadi di era modern, para penulis selama ribuan tahun telah terpesona oleh subjek tersebut. Nyatanya, di sepanjang sejarah sastra, kematian sering dinobatkan sebagai “antagonis yang agung.” Kita ternyata telah mengajukan pertanyaan yang sama sejak dahulu kala.

Dalam setiap kebudayaan, terdapat unsur-unsur tertentu yang membatasi kemampuan kita untuk memiliki pemahaman yang tepat tentang kematian. Dalam budaya kemakmuran, kita sering terlindungi dari kematian dengan cara yang unik. Semakin kaya sebuah komunitas, semakin banyak harta benda yang kita gunakan untuk mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang kita takuti. Seorang pengkhotbah dan teolog yang sangat terkenal, Charles Haddon Spurgeon, pernah berkata ketika dia mengunjungi rumah mewah seorang jemaat, “Ini adalah hal-hal yang membuat kematian menjadi sulit.” Ketika kita memiliki banyak sumber daya, kita dapat meringankan, atau setidaknya, melembutkan realita hidup yang keras. Saat kita tidak memiliki kebutuhan mendesak, kita tidak memiliki keinginan untuk menyelidiki hal-hal yang lebih mendalam dan hal terakhir yang ingin kita lakukan adalah berurusan konsep seperti memento mori. Mengapa harus diingatkan tentang satu hal yang tidak dapat kita selesaikan?

Article continues below

Jelas tidak ada yang baru di bawah matahari dalam hal hubungan cinta dan benci kita dengan kematian, terutama dalam hal kesia-siaan hidup kita. Kita sering mengatakan pada diri sendiri, yang terpenting bukanlah apa yang nampak di luar, melainkan siapa kita di dalam. Jika industri kesehatan dan kecantikan merupakan indikasi di mana nilai-nilai kita yang sebenarnya berada, maka mereka yang lebih fokus pada apa yang di “dalam” akan jauh tertinggal di belakang. Kesehatan fisik memang sangat penting—namun, ketika kesehatan fisik kita menjadi penanda identitas kita, kita kehilangan pandangan akan surga. Tidak ada subjek yang lebih menakutkan daripada kematian bagi seseorang yang takut akan penuaan. Namun, tidak peduli berapa mil kita berlari, berapa putaran kita berenang, atau berapa banyak Botox yang kita suntikkan, tidak ada jalan keluar: akhirnya setiap dari kita akan berjumpa dengan kematian. Terlepas dari segala upaya kita, kefanaan mengetuk pintu kita: mata yang meredup, rambut menipis, pinggang menebal, otot menyusut, tubuh mengendur, jam tidur berkurang, dan ingatan kita akan memudar. Seiring bertambahnya usia, kita merasakan penurunan suhu dan tekanan udara meningkat, kita mendengar daun-daun bergetar saat badai yang disebut kematian itu membayang di cakrawala. Pemazmur menggambarkannya sebagai “kegentaran terhadap dunia orang mati,” yang melukiskan tentang jurang besar dan tak terpahami di mana “tali-tali maut telah meliliti aku / kegentaran terhadap dunia orang mati menimpa aku; / aku mengalami kesesakan dan kedukaan” (Mzm. 116:3).

Jadi kuatkanlah hati Anda, masalah kita bukanlah bahwa kita mengalami ketakutan sehubungan dengan kematian—semua orang mengalaminya. Potensi kerugian dan keuntungan terletak pada bagaimana kita menanggapi ketakutan ini. Pandangan yang sehat tentang kematian bisa sangat membantu kita dalam memandang hidup ini. Saat kita merengkuh kefanaan kita, kemampuan kita untuk melihat akan berubah. Mata duniawi kita yang redup sebenarnya menjadi lebih cemerlang saat terfokus pada keabadian. Konsep memento mori memupuk visi semacam itu. Seperti yang dikatakan rasul Paulus: “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal”. (2Kor. 4:18).

Ketika saya memikirkan “pencarian makna kematian” yang traumatis bagi saya sebagai anak muda, saya sangat bersyukur bahwa pada usia 19 tahun saya menemukan jawaban yang mengubah saya dan jalan hidup saya. Beberapa hal menakutkan yang tidak diketahui tentang kefanaan tidak pernah benar-benar hilang—bahkan, saya masih bisa merasa ketakutan ketika saya mencoba memenuhi kepala saya dengan kata “selama-lamanya.” Namun, hari ini yang menjadi fokus perhatian saya adalah pertama, sebuah pengakuan; kedua, pertanyaan baru; dan ketiga, permintaan. Pengakuan saya sederhana: “Tuhan, saya khawatir tentang apa yang saya miliki, saya khawatir tentang penampilan saya, dan saya khawatir tentang masa depan saya.” Pertanyaan saya praktis: “Tuhan, bagaimana saya akan hidup hari ini dalam perspektif bahwa saya akan menghabiskan kekekalan bersama-Mu?” Dan permintaan saya: “Tuhan, tolong saya benar-benar melihat apa yang benar-benar penting sehingga saya dapat melakukan apa yang paling penting di mata-Mu.”

Article continues below

Paskah ini, saat Anda menghidupi dunia di sekitarmu, harapan kami adalah agar Anda memikirkan hari kematian Anda. Kami percaya bahwa tema memento mori akan membawa Anda ke tempat-tempat baru dengan cakrawala yang cerah. Lagi pula, apa yang muncul di cakrawala itu bukanlah badai, melainkan kumpulan orang kudus yang telah pergi mendahului kita, menantikan untuk menyambut kita masuk ke dalam keabadian.

Erik Petrik adalah kepala tim kreatif di Christianity Today. Ia dan istrinya, Kelli, memiliki 5 anak dan tinggal di Edwards, Colorado.

Artikel diterjemahkan oleh David Alexander Eden.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

[ This article is also available in English and Français. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]